Powered By Blogger

Rabu, 25 Juli 2012

STRUMA

STRUMA


Konsep Dasar Medis
A. Definisi
  • Struma adalah istilah untuk pembesaran kelenjar tiroid / godok (Dr.Hendra T.Laksman )
  • Struma Nodusa adalah struma yang tanpa disertai hipertiroidisme ( Manjoer 1999 : 589 )
  • Struma Nodusa atau struma adenomathosa adalah struma yang ditemukan di daerah pegunungan kerena difisiensi yodium ( Syamsu Hidayat,1997 : 934 )

B. Etiologi
            Penyebab kelainan ini bermacam – macam,pada siap orang dapat dijumpai masa karena kebutuhan terhadap tiroksin bertambah, terutama masa pubertas , pertumbuhan , menstruasi, kehamilan , laktasi, monepouse, infeksi atau stress lain. Pada masa-mas tersebut dapat dijumpai hiperplasi dan involusi kelenjar tiroid. Perubahan ini dapat menimbulkan nodularitas kelenjar tiroid serta kelainan arsitektur yang dapat berlanjut dengan berkurangnya aliran darah di daerah tersebut sehingga terjadi iskemia. ( Manjoer, 1999 : 589 )

C. Klasifikasi
             Klasifikasi dan karakteristik Struma Nodusa menurut  ( Sarwana, 1991 : 757 dan Manjoer, 1999 : 598 ) antara lain :
  1. Berdasarkan jumlah nodul
    1. Struma nodusa soliter : jika jumlah nodul hanya Satu
    2. Struma multi nodusa : jika jumlah nodul lebih dari satu .
  2. Berdasarkan kemampuan menangkap yodium radioaktif
a.       Nodul dingin
b.      Nodul hangat
c.       Nodul panas
  1. Berdasarkan Konsistensinya
a.       Nodul lunak
b.      Nodul kistik
c.       Nodul keras
d.      Nodul sangat keras

D. Manifestasi Klinis
            Akibat berulangnya hyperplasia dan involusi dapat terjadi berbagai bentuk degenerasi sabagai fibrosis, nekrosis, klasifikasi, pembentukan kista dan perdarahan kedalam kista tersebut. Pada umumnya kelainan yang dapat menampakan diri sebagai struma nodusa adalah Edenoma, kista perdarahan tiroiditis dan karsinoma. ( Mansjoer,199 ; 589 )
Sedangkan manifestasi klinik penderita dengan hipotiroidisme nyata, berupa
kurang energi, rambut rontok, intoleransi dingin, berat badan naik, konstipasi,
kulit kering dan dingin, suara parau, serta lamban dalam berpikir.
Pada hipotiroidisme, kelenjar tiroid sering tidak teraba. Kemungkinan terjadi
karena atrofi kelenjar akibat pengobatan hipertiroidisme memakai yodium
radioaktif sebelumnya atau setelah tiroditiditis autoimun.( Sarwana, 1991 : 757 )

E. Patofisiologi
                  Pada umumnya penderita struma nodusa tidak mengalami keluham karena tidak ada hipo atau hipertiroidisme. Nodusa mungkin tunggal tetapi kebanyakan berkembang menjadi multi noduler yang tidak berfungsi. Struma dapat menjadi besar tanpa gejala, kecuali berjalan dileher. Sebagian penderita dengan Struma nodusa dapat hidup dengan Strumanya tanpa keluhan, karena tidak mengganggu pernafasan dan menonjol kedepan. Sebagian lain dapat menyebabkan gangguan pernafasan sampai akhirnaya terjadi Dyspnea.
      Biasanya struma adenoma benigna, walaupun besar tidak menyebabkan gangguan neurologik, Muskuloskeletal, menelan karena tekanan atau dorongan. Kelainan lain adalah rasa berat di leher saat menelan makanan. Trakea naik untuk menutup laring dan epiglostis sehingga tiroid terasa berat karena terfiksasi pada trakea. ( Syamsu Hidayat, 1997 : 934 – 935 )


F. Pathways
PATHWAY STRUMA


Defisiensi iodium   kelainan metabolik      penghambatan sintesa oleh zat kimia dan obat-obatan
Sintesis, pelepasan, metabolism tyroid terganggu
Sintesis T4 terhambat
Pelepasan TSH oleh kelenjar hipofisis meningkat
Pembesaran kelenjar tyroid
Obstruksi trakea, pembengkakan,               STRUMA                                               
Spasme laringeal

                                                                  Manipulasi bedah terhadap               resiko tinggi ter        
            

                                                                     Jaringan/ otot                                 hadap cedera/
Cedera pita suara/kerusakan saraf laring                                                             tetani
                                                                    Nyeri (akut)             kesulitan menelan  
Gangguan komunikasi verbal
                                                       Perubahan status kesehatan    intake nutrisis inadekuat
kurang pengetahuan
                                              Mekanisme koping inadekuat      perubahan nutrisi kurang dari                                      
   Kurang informasi, kesalahan interpretasi                                        Kebutuhan tubuh

G. Penatalaksanaan
      Penatalaksanaan struma menurut ( Manjoer, 1999 : 600 )
1.      Strumektomi
Dilakukan pada struma yang besar dan menyebabkan keluhan mekanis
2.      L – Tiroksin selama 4 – 5 bulan
Preparat ini diberikan bila terdapat nodul hangat, lalu dilakukan pemeriksaan sidik tiroid ulang.
3.      Biopsis aspirasi jarum halus
Cara ini dilakukan pad kista tiroid sehingga nodul kurang dari 10 mm.
      H. Pemeriksaan Penunjang
            Pemeriksaan Penunjang menurut Arief Manjoer ( 1999 : 599 )
  1. Pemeriksaan sidik tiroid
Hasil pemeriksaan dengan radioisotop adalah teraan ukuran, bentuk lokasi, dan yang utama adalah fungsi bagian – bagian tiroid.
  1. Pemeriksaan Ultrasonografi ( USG )
Dengan pemeriksaan USG dapat dibedakan antara yang padat, cair dan beberapa bentuk kalainan, tetapi belum dapat membedakan dengan pasti apakan suatu nodul ganas atau jinak
  1. Biopsis aspirasi jarum halus
Biopsi ini dilakukan khusus pada keadaan yang mencurigakan suatu keganasan.
  1. Termografi
Adalah metode pemeriksaan berdasarkan pengukuran suhu  kulit pada suatu tempat dengan memakai Dynamic Telethermographi.
  1. Petanda Tumor
Pada pemeriksaan ini yang diukur adalah peninggian tiroglobin ( TG ) serum.



           
Konsep Dasar Keperawatan
I.                   Pengkajian
Menurut Doengoes ( 1999 : 202 )
1.      Integritas Ego
Gejala : perasaan takut akan kehilangan suara, khawatir bila pembedahan mempengaruhi hubungan keluarga atau kemampuan kerja.
                        Tanda : Ansietas, Depresi, marah dan menolak.
2.      Makanan atau cairan
Gejala : Kesulitan menelan
Tanda : kesulitan menelan, mudah tersedak, inflamasi / drainage oral, kebersihan gigi buruk.
3.      Hygiene
Tanda : kemunduran kebersihan gigi, kebutuhan perawatan dasar.
4.      Neurosensori
Gejala : Displobia ( penglihatan ganda ), ketulian, kesemutan parastesia otot wajah.
Tanda : Hiperemis wajah ( keterlibatan parotid dan submandibularis ), parau menetap atau kehilangan suara, kesulitan menelan, ketulian konduksi, kerusakan membran mukosa.
5.      Nyeri / kenyamanan
Gejala  : Sakit tenggorokan atau mulut ( nyeri hebat menyertai pembedahan leher dibandingkan nyeri sebelum pembedahan )
Tanda : perilaku berhati – hati, gelisah, gangguan tonus otot.
6.      Pernafasan
Gejala : batuk dengan atau tanpa sputum, Drainase darah pada nasal
Tanda : sputum dengan darah, Hiplopisis, Dyspnea.
7.      Interaksi social
Gejala : Masalah tentang kemampuan berkomunikasi bergabung dalam interaksi social
Tanda : Parau menetap / perubahan tinggi, suara bicara kacau, enggan untuk bicara
II.                Fokus Intervensi
1.      Resti ketidakefektifan jalan nafas b/d spasme laryngeal ( Doengoes,2000 : 720 )
Tujuan : jalan nafas efektif
Kriteria Hasil : - mempertahankan jalan nafas paten
- tidak terjadi aspirasi
                        Intervensi :
a.       Pantu frekuensi pernafasan, kedalaman dan kerja pernafasan
R/ : Pernafasan normal, kadang – kadang cepat tetap perkembangan distress pada  pernafasan Merupakan indikasi komplikasi.
b.      Auskultasi suara nafas, catat adanya suara ronchi
R/ ; Ronchi merupakan indikasi adanya obsruksi atau spasme laryngeal
c.       Waspadakan klien untuk menghindari ikatan pada leher menyokong kepala pada leher.
R/ : Menurunkan kemungkinan adanya ketegangan pada daerah luka karena pembedahan.
d.      Selidiki kesulitan menelan, pemupukan sekresi oral
R/ : Merupakan indikasi edema / perdarahan yang membeku pada sekitar jaringan daerah operasi
2.      Kerusakan komunikasi vebal b/d cidera pita suara ( Doengoes,2000 : 721)
Tujuan : klien dapat berkomunikasi secara verbal maupun nonverbal
Kriteria Hasil : Mampu menciptakan metode komunikasi dimana kebutuhan dapat dipahami
Intervensi :
a.       Kaji fungsi bicara periodic, anjurkan untuk tidak bicara terus menerus
R/ : Kerusakan saraf permanent dapat terjadi, yang menyebabkan paralysis pita suara dan atau penekanan pada trakea.
b.      Pertahankan komunikasi yang sederhana, beri pertanyaan yang memerlukan jawaban ’’Ya’’ atau ‘’ Tidak ‘’.
R/ : Menurunkan kebutuhan berespon mengurangi bicara.
c.       Memberi metode komunikasi alternative yang sesuai seperti papan tulis, kertas atau papan gambar
R/ : Memfasilitasi ekspresi yang dibutuhkan
d.      Antisipasi kebutuhan sebaik mungkin, kunjungi pasien secara teratur.
R/ : Menurunkan ansietas dan kebutuhan pasien untuk berkomunikasi.
e.       Beritahu pasien untuk terus membatasi bicara
R/ : Mencegah pasien bicara yang dipaksakan untuk menciptakan kebutuhan yang diperlukan.
f.       Pertahankan lingkungan yang tenang
R/ : Meningkatkan kemampuan mendengar komunikasi perlahan dan menurunkan kerasnya suara yang harus diucapkan.
3.      Nyeri b/d interupsi bedah terhadap jaringan / otot.
Tujuan : Nyeri hilang atau berkurang.
Kriteria Hasil : - Melaporkan nyeri hilang / berkurang
- mendemonstrasikan penggunaan ketrampilan, aktivitas, hiburan yang tepat situasi.
Intervensi :
a.       kaji tanda – tanda adanya nyeri baik verbal maupun nonverbal, catat hasil intensitasnya skala ( 0 – 10 )
R/ : Bermanfaat dalam mengevaluasi nyeri, menentukan pilihan intervensi, menentukan efektivitas terapi.
b.      Letakan pasien dalam Semi Fowler dan leher / kepala dengan bantal.
R/ : Mencegagh hiperekstensi laher pada garis jahitan, menurunkan tegangan otot.
c.       Pertahankan leher / kepala dalam posisi netral dan sokong selama perubahan posisi.
R/ : Mencegah stress pada garis jahitan dan menurunkan tegangan otot.
d.      Anjurkan klien untuk menggunakan teknik relaksasi seperti mendengarkan musik
R/ : Membantu memfokuskan kembali perhatian dan mengurangi nyeri.
e.       Kolaborasi dengan Dokter pemberian analgetik sesuai indikasi.
R/ : Menurunkan Nyeri
4.      Resti perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan b/d epiglottis menutup trakea, nyeri telan.
Tujuan : tidak terjadi malnutrisi
Kriteria Hasil : - Menjelaskan alasan dan prosedur pengobatan.
      - Mendapatkan pengalaman tentang nutrisi yang adekuat
         melalui Oral
 Intervensi :
a.       Kaji tingkat kesadaran dan respon secara tepat dan kemampuan dalam menelan
R/ : Mengetahui sejauh mana pasien dapat menelan makanan seperti semula
b.      Ajarkan teknik untuk mempertahankan asupan nutrisi yang adekuat dan merangsang nafsu makan
R/ : Meningkatkan pengetahuan pasien
c.       Ubah variasi kepadatan makanan yang diperbolehkan menurut tekstur dan rasa yang berbeda
R/ : Dengan pemberian makanan yang bervariasi paisen tidak akan bosan.
e.       Posisikan pasien dengan setengah duduk / Semi Fowler atau ditepi tempat tidur jika memungkinkan
R/ : Menjaga kenyamanan pasien
f.       pertahankan posisi selama 10-15 menit sebelum dan sesudah makan.
R/ : Untuk mempertahankan kepatenan esofhagus.









Daftar Pustaka

Carpenito L Y, 2001, Hand Book of Nursing Diagnosis, Edisi 8, EGC : Jakarta
Doengoes, dkk, 2000, Nursing Care Plans : Guideline For Planning And Dokumentating
            Care. EGC : Jakarta.
Hidayat, Syamat, dkk, 1997. Edisi Revisi Buku Ilmu Ajar Bedah,EGC : Jakarta.
Manjoer, Arief, dkk, 2000.Kapita Selekta Kedokteran, Jilid I, Media Aesculapius :
             Jakarta

Minggu, 08 Juli 2012

LIMFOMA MALIGNA


LAPORAN PENDAHULUAN
LIMFOMA MALIGNA

A.    Pengertian
Limfoma maligna (kanker kelenjar getah bening) merupakan bentuk keganasan dari sistem limfatik yaitu sel-sel limforetikular seperti sel B, sel T dan histiosit sehingga muncul istilah limfoma maligna (maligna = ganas). Ironisnya, pada orang sehat sistem limfatik tersebut justru merupakan komponen sistem kekebalan tubuh. Ada dua jenis limfoma maligna yaitu Limfoma Hodgkin (HD) dan Limfoma non-Hodgkin (LNH).

B.     Epidemiologi
Saat ini, sekitar 1,5 juta orang di dunia hidup dengan limfoma maligna terutama tipe LNH, dan dalam setahun sekitar 300 ribu orang meninggal karena penyakit ini. Dari tahun ke tahun, jumlah penderita penyakit ini juga terus meningkat. Sekadar gambaran, angka kejadian LNH telah meningkat 80 persen dibandingkan angka tahun 1970-an. Data juga menunjukkan, penyakit ini lebih banyak terjadi pada orang dewasa dengan angka tertinggi pada rentang usia antara 45 sampai 60 tahun. Sedangkan pada Limfoma Hodgkin (DH) relative jarang dijumpai, hanya merupaka 1 % dari seluruh kanker. Di negara barat insidennya dilaporkan 3,5/100.000/tahun pada laki-laki dan 2,6/100.000/tahun pada wanita. Di Indonesia, belum ada laporan angka kejadian Limfoma Hodgkin. Penyakit limfoma Hodgkin banyak ditemukan pada orang dewasa muda antara usia 18-35 tahun dan pada orang di atas 50 tahun.

C.    Etiologi
Penyebab dari penyakit limfoma maligna masih belum diketahui dengan pasti..Empat kemungkinan penyebabnya adalah: faktor keturunan, kelainan sistem kekebalan, infeksi virus atau bakteria (HIV, virus human T-cell leukemia/lymphoma (HTLV), Epstein-Barr virus (EBV), Helicobacter Sp) dan toksin lingkungan (herbisida, pengawet dan pewarna kimia).

D.    Faktor Predisposisi
1.      Usia
Penyakit limfoma maligna banyak ditemukan pada usia dewasa muda yaitu antara 18-35 tahun dan pada orang diatas 50 tahun
2.      Jenis kelamin
Penyakit limfoma maligna lebih banyak diderita oleh pria dibandingkan wanita
3.      Gaya hidup yang tidak sehat
Risiko Limfoma Maligna meningkat pada orang yang mengkonsumsi makanan tinggi lemak hewani, merokok, dan yang terkena paparan UV
4.      Pekerjaan
Beberapa pekerjaan yang sering dihubugkan dengan resiko tinggi terkena limfoma maligna adalah peternak serta pekerja hutan dan pertanian.

E.     Patofisiologi
Proliferasi abmormal tumor dapat memberi kerusakan penekanan atau penyumbatan organ tubuh yang diserang. Tumor dapat mulai di kelenjar getah bening (nodal) atau diluar kelenjar getah bening (ekstra nodal).
Gejala pada Limfoma secara fisik dapat timbul benjolan yang kenyal, mudah digerakkan (pada leher, ketiak atau pangkal paha). Pembesaran kelenjar tadi dapat dimulai dengan gejala penurunan berat badan, demam, keringat malam. Hal ini dapat segera dicurigai sebagai Limfoma. Namun tidak semua benjolan yang terjadi di sistem limfatik merupakan Limfoma. Bisa saja benjolan tersebut hasil perlawanan kelenjar limfa dengan sejenis virus atau mungkin tuberkulosis limfa.
Beberapa penderita mengalami demam Pel-Ebstein, dimana suhu tubuh meninggi
selama beberapa hari yang diselingi dengan suhu normal atau di bawah normal selama beberapa hari atau beberapa minggu. Gejala lainnya timbul berdasarkan lokasi pertumbuhan sel-sel limfoma.

F.     Klasifikasi
1.      Klasifikasi Penyakit
Ada dua jenis penyakit yang termasuk limfoma malignum yaitu penyakit Hodgkin (PH) dan limfoma non Hodgkin (LNH). Keduanya memiliki gejala yang mirip. Perbedaannya dibedakan berdasarkan pemeriksaan patologi anatomi dimana pada PH ditemukan sel Reed Sternberg, dan sifat LNH lebih agresif
2.      Klasifikasi Patologi
Klasifikasi limfoma maligna telah mengalami perubahan selama bertahun-tahun. Pada tahun 1956 klasifikasi Rappaport mulai diperkenalkan. Rappaport membagi limfoma maligna menjadi tipe nodular dan difus kemudian subtipe berdasarkan pemeriksaan sitologi. Modifikasi klasifikasi ini terus berlanjut hingga pada tahun 1982 muncul klasifikasi Working Formulation yang membagi limfoma maligna menjadi keganasan rendah, menengah dan tinggi berdasarkan klinis dan patologis. Seiring dengan kemajuan imunologi dan genetika maka muncul klasifikasi terbaru pada tahun 1982 yang dikenal dengan Revised European-American classification of Lymphoid Neoplasms (REAL classification).
3.      Stadium Limfoma Maligna
Penyebaran Limfoma dapat dikelompokkan dalam 4 stadium. Stadium I dan II sering dikelompokkan bersama sebagai stadium awal penyakit, sementara stadium III dan IV dikelompokkan bersama sebagai stadium lanjut.
o   Stadium I : Penyebaran Limfoma hanya terdapat pada satu kelompok yaitu kelenjar getah bening.
o   Stadium II : Penyebaran Limfoma menyerang dua atau lebih kelompok kelenjar getah bening, tetapi hanya pada satu sisi diafragma, serta pada seluruh dada atau perut.
o   Stadium III : Penyebaran Limfoma menyerang dua atau lebih kelompok kelenjar getah bening, serta pada dada dan perut.
o   Stadium IV : Penyebaran Limfoma selain pada kelenjar getah bening setidaknya pada satu organ lain juga seperti sumsum tulang, hati, paru-paru, atau otak

G.    Gejala Klinis
Gejala klinis dari penyakit limfoma maligna adalah sebagai berikut :
1.      Limfodenopati superficial. Sebagian besar pasien datang dengan pembesaran kelenjar getah bening asimetris yang tidak nyeri dan mudah digerakkan (pada leher, ketiak atau pangkal paha)
2.      Demam
3.      Sering keringat malam
4.      Penurunan nafsu makan
5.      Kehilangan berat badan lebih dari 10 % selama 6 bulan (anorexia)
6.      Kelemahan, keletihan
7.      Anemia, infeksi, dan pendarahan dapat dijumpai pada kasus yang mengenai sumsum tulang secara difus

H.    Pemeriksaan Fisik
o   Pemeriksaan fisik pada daerah leher, ketiak dan pangkal paha
Pada Limfoma secara fisik dapat timbul benjolan yang kenyal, tidak terasa nyeri, mudah digerakkan (pada leher, ketiak atau pangkal paha)
o   Inspeksi , tampak warna kencing campur darah, pembesaran suprapubic bila tumor sudah besar.
o   Palpasi, teraba tumor masa suprapubic, pemeriksaan bimanual teraba tumor pada dasar buli-buli dengan bantuan general anestesi baik waktu VT atau RT.

I.       Pemeriksaan Penunjang
Untuk mendeteksi limfoma harus dilakukan biopsi dari kelenjar getah bening yang terkena dan juga untuk menemukan adanya sel Reed-Sternberg. Untuk mendeteksi Limfoma memerlukan pemeriksaan seperti sinar-X, CT scan, PET scan, biopsi sumsum tulang dan pemeriksaan darah. Biopsi atau penentuan stadium adalah cara mendapatkan contoh jaringan untuk membantu dokter mendiagnosis Limfoma. Ada beberapa jenis biopsy untuk mendeteksi limfoma maligna yaitu :
1.      Biopsi kelenjar getah bening, jaringan diambil dari kelenjar getah bening yang membesar.
2.      Biopsi aspirasi jarum-halus, jaringan diambil dari kelenjar getah bening dengan jarum suntik. Ini kadang-kadang dilakukan untuk memantau respon terhadap pengobatan.
3.      Biopsi sumsum tulang di mana sumsum tulang diambil dari tulang panggul untuk melihat apakah Limfoma telah melibatkan sumsum tulang.

J.      Terapi
o   Cara pengobatan bervariasi dengan jenis penyakit. Beberapa pasien dengan tumor keganasan tingkat rendah, khususnya golongan limfositik, tidak membutuhkan pengobatan awal jika mereka tidak mempunyai gejala dan ukuran lokasi limfadenopati yang bukan merupakan ancaman.
o   Radioterapi
Walaupun beberapa pasien dengan stadium I yang benar-benar terlokalisasi dapat disembuhkan dengan radioterapi, terdapat angka yang relapse dini yang tinggi pada pasien yang dklasifikasikan sebagai stadium II dan III. Radiasi local untuk tempat utama yang besar harus dipertimbangkan pada pasien yang menerima khemoterapi dan ini dapat bermanfaat khusus jika penyakit mengakibatkan sumbatan/ obstruksi anatomis.
Pada pasien dengan limfoma keganasan tingkat rendah stadium III dan IV, penyinaran seluruh tubuh dosis rendah dapat membuat hasil yang sebanding dengan khemoterapi.
o   Khemoterapi
1.       Terapi obat tunggal Khlorambusil atau siklofosfamid kontinu atau intermiten yang dapat memberikan hasil baik pada pasien dengan limfoma maligna keganasan tingkat rendah yang membutuhkan terapi karena penyakit tingkat lanjut.
2.       Terapi kombinasi. (misalnya COP (cyclophosphamide, oncovin, dan prednisolon)) juga dapat digunakan pada pasien dengan tingkat rendah atau sedang berdasakan stadiumnya.

K.    Komplikasi
Komplikasi yang dialami pasien dengan limfoma maligna dihubungkan dengan penanganan dan berulangnya penyakit. Efek-efek umum yang merugikan berkaitan dengan kemoterapi meliputi : alopesia, mual, muntah, supresi sumsum tulang, stomatitis dan gangguan gastrointestinal. Infeksi adalah komplikasi potensial yang paling serius yang mungkin dapat menyebabkan syok sepsis.
Efek jangka panjang dari kemoterapi meliputi kemandulan, kardiotoksik, dan fibrosis pulmonal. Efek samping terapi radiasi dihubungkan dengan area yang diobati. Bila pengobatan pada nodus limfa servikal atau tenggorok maka akan terjadi hal-hal sebagai berikut : mulut kering, disfagia, mual, muntah, rambut rontok, dan penurunan produksi saliva.
Bila dilakukan pengobatan pada nodus limfa abdomen, efek yang mungkin terjadi adalah muntah, diare, keletihan, dan anoreksia

L.     Prognosis
Kebanyakan pasien dengan penyakit limfoma maligna tingkat rendah bertahan hidup lebih dari 5-10 tahun sejak saat didiagnosis. Banyak pasien dengan penyakit limfoma maligna tingkat tinggi yang terlokalisasi disembuhkan dengan radioterapi. Dengan khemoterapi intensif, pasien limfoma maligna tingkat tinggi yang tersebar luas mempunyai perpanjangan hidup lebih lama dan dapat disembuhkan.

ASUHAN KEPERAWATAN

A.    Pengkajian
Gejala pada Limfoma secara fisik dapat timbul benjolan yang kenyal, tidak terasa nyeri, mudah digerakkan (pada leher, ketiak atau pangkal paha). Pembesaran kelenjar tadi dapat dimulai dengan gejala penurunan berat badan, demam, keringat malam. Hal ini dapat segera dicurigai sebagai Limfoma. Namun tidak semua benjolan yang terjadi di sistem limfatik merupakan Limfoma. Bisa saja benjolan tersebut hasil perlawanan kelenjar limfe dengan sejenis virus atau mungkin tuberculosis limfa.
  1. Biodata klien dan penanggung jawab
  2. Data
a.       Data subyektif
·         Demam berkepanjangan dengan suhu diatas 38 derajat celcius
·         Sering keringat malam
·         Cepat merasa lelah
·         Badan lemah
·         Nafsu makan menurun
·         Intake makan dan minum menurun
b.      Data obyektif
§  Timbul benjolanyang kenyal, mudah digerakkan pada leher, ketiak atau pangkal paha
§   Wajah pucat
  1. Kebutuhan dasar
o   Aktivitas/Istirahat
Gejala    :    Kelelahan, kelemahan atau malaise umum, kehilangan produktifitas     dan penurunan toleransi latihan, kebutuhan tidur dan istirahat lebih banyak
Tanda    :    Penurunan kekuatan, bahu merosot, jalan lamban dan tanda lain yang    menunjukkan kelelahan
o   Sirkulasi 
Gejala    :    Palpitasi, angina/nyeri dada
Tanda    :    Takikardia, disritmia, sianosis wajah dan leher (obstruksi drainase vena karena pembesaran nodus limfa adalah kejadian yang jarang), ikterus sklera dan ikterik umum sehubungan dengan kerusakan hati dan obtruksi duktus empedu dan pembesaran nodus limfa (mungkin tanda lanjut)
pucat (anemia), diaforesis, keringat malam.
o   Integritas Ego
Gejala    :    Faktor stress, misalnya sekolah, pekerjaan, keluarga, takut/ansietas sehubungan dengandiagnosis dan kemungkinan takut mati, takut sehubungan dengan tes diagnostik dan modalitas pengobatan (kemoterapi dan terapi radiasi), masalah finansial : biaya rumah sakit, pengobatan mahal, takut kehilangan pekerjaan sehubungan dengan kehilangan waktu kerja. Status hubungan : takut dan ansietas sehubungan menjadi orang yang tergantung pada keluarga.
Tanda    :    Berbagai perilaku, misalnya marah, menarik diri, pasif.
o   Eliminasi
Gejala    :    Perubahan karakteristik urine dan atau feses. Riwayat Obstruksi usus, contoh intususepsi, atau sindrom malabsorbsi (infiltrasi dari nodus limfa retroperitoneal)
Tanda    :    Nyeri tekan pada kuadran kanan atas dan pembesaran pada palpasi (hepatomegali), nyeri tekan pada kudran kiri atas dan pembesaran pada palpasi (splenomegali), penurunan haluaran urine urine gelap/pekat, anuria (obstruksi uretal/ gagal ginjal), disfungsi usus dan kandung kemih (kompresi batang spinal terjadi lebih lanjut).
o   Makanan/cairan
Gejala    :    Anoreksia/kehilangan nafsu makan, disfagia (tekanan pada easofagus), adanya penurunan berat badan yang tak dapat dijelaskan sama dengan 10% atau lebih dari berat badan dalam 6 bulan sebelumnya dengan tanpa upaya diet.
Tanda    :    Pembengkakan pada wajah, leher, rahang atau tangan kanan (sekunder terhadap kompresi venakava superior oleh pembesaran nodus limfa). Ekstremitas : edema ekstremitas bawah sehubungan dengan obtruksi vena kava inferior dari pembesaran nodus limfa intraabdominal (non-Hodgkin), asites (obstruksi vena kava inferior sehubungan dengan pembesaran nodus limfa intra abdominal)

o   Neurosensori
Gejala    :    Nyeri saraf (neuralgia) menunjukkan kompresi akar saraf oleh pembesaran nodus limfa pada brakial, lumbar, dan pada pleksus sacral. Kelemahan otot, parestesia.
Tanda    :    Status mental : letargi, menarik diri, kurang minatumum terhadap sekitar.Paraplegia (kompresi batang spinaldari tubuh vetrebal, keterlibatan diskus pada kompresiegenerasi, atau kompresi suplai darah terhadap batng spinal)
o   Nyeri/Keamanan
Gejala    :    Nyeri tekan/nyeri pada nodus limfa yang terkena misalnya, pada sekitar mediastinum, nyeri dada, nyeri punggung (kompresi vertebral), nyeri tulang umum (keterlibatan tulang limfomatus). Nyeri segera pada area yang terkena setelaah minum alkohol.
Tanda    :    Fokus pada diri sendiri, perilaku berhati-hati.
o   Pernapasan
Gejala    :    Dispnea pada kerja atau istirahat; nyeri dada.
Tanda    :    Dispnea, takikardia, batuk kering non-produktif, tanda distres pernapasan, contoh peningkatan frekwensi pernapasan dan kedaalaman penggunaan otot bantu, stridor, sianosis.
Parau/paralisis laringeal (tekanan dari pembesaran nodus pada saraf laringeal)
o   Keamanan
Gejala    :    Riwayat sering/adanya infeksi (abnormalitasimunitas seluler pencetus untuk infeksi virus herpes sistemik, TB, toksoplasmosis atau infeksi bakterial). Riwayat monokleus (resiko tinggi penyakit Hodgkin pada pasien yang titer tinggi virus Epstein-Barr). Riwayat ulkus/perforasi perdarahan gaster. Pola sabit adalah peningkatan suhu malam hari terakhir sampai beberapa minggu (demam pel Ebstein) diikuti oleh periode demam, keringat malam tanpa menggigil. Kemerahan/pruritus umum
Tanda    :    Demam menetap tak dapat dijelaskan dan lebih tinggi dari 38oC tanpa gejala infeksi. Nodus limfe simetris, tak nyeri,membengkak/membesar (nodus servikal paling umum terkena, lebih pada sisi kiri daripada kanan, kemudian nodus aksila dan mediastinal). Nodus dapat terasa kenyal dan keras, diskret dan dapat digerakkan. Pembesaran tosil
, pruritus umum. Sebagian area kehilangan pigmentasi melanin (vitiligo).
o   Seksualitas
Gejala    :    Masalah tentang fertilitas/ kehamilan (sementara penyakit tidak mempengaruhi, tetapi pengobatan mempengaruhi)
Penurunan libido.
o   Penyuluhan/pembelajaran
Gejala    :    Faktor resiko keluargaa (lebih tinggi insiden diantara keluarga pasien Hodgkin dari pada populasi umum). Pekerjaan terpajan pada herbisida (pekerja kayu/kimia)
4.      Pemeriksaan fisik
a.       KU
b.      TTV
Kaji adanya peningkatan temperature, takikardi, dan penurunan tekanan darah (Donna D, 1995). Demam merupakan salah satu gejala dari Limfoma maligna.
c.       Pemeriksaan fisik pada daerah leher, ketiak dan pangkal paha
Gejala pada Limfoma secara fisik dapat timbul benjolan yang kenyal, tidak terasa nyeri, mudah digerakkan (pada leher, ketiak atau pangkal paha)
           
v  ANALISA DATA
Data yang dikumpulkan dikelompokkan meliputi : data subyektif dan data obyektif kemudian dari data yang teridentifikasi masalah dan kemungkinan penyebab dapat ditentukan yang menjadi acuan untuk menentukan diagnosa keperawatan.

B.     Diagnosa
1.      .Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan imunosupresi dan malnutrisi
2.      Hipertermi berhubungan dengan tak efektifnya termoregulasi sekunder terhadap inflamasi
3.      Nyeri berhubungan dengan interupsi sel saraf
4.      Perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan gangguan sistem transport oksigen terhadap perdaharan
5.      Gangguan integritas kulit/ jaringan berhubungan dengan massa tumor mendesak ke jaringan luar
6.      Intolerans aktivitas berhubungan dengan kelemahan, pertukaran oksigen, malnutrisi, kelelahan.
7.      Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang kurang, meningkatnya kebutuhan metabolic, dan menurunnya absorbsi zat gizi.
8.      Kekurangan volume cairan berhubungan dengan muntah dan intake yang kurang
9.      Perubahan kenyamanan berhubungan dengan mual, muntah
10.  Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyakit, prognosis, pengobatan dan perawatan
11.  Kurang pengetahuan b.d kurang terpajan informasi

C.    Intervensi
1.      Potensial terjadi infeksi berhubungan dengan penurunan daya tahan tubuh
a.       Tujuan : Infeksi tidak terjadi
b.      Intervensi :
·         Monitor suhu tubuh tiap 4 jam. Anjurkan klien untuk melaporkan bila mengalami sakit tenggorokan.
Rasional : Peningkatan suhu tubuh dan nyeri tenggorokan menandakan klien terkena infeksi
·         Lakukan teknik isolasi dengan cara memisahkan klien dengan penyakit infeksi.
Rasional : Isolasi dapat mencegah terjadinya kontak dengan klien lain
·         Cuci tangan dengan teknik yang benar sebelum kontak dengan klien
Rasional : Cuci tangan yang benar dapat mengurangi mikroorganisme yang terbawa dari tangan.
·         Gunakan teknik aseptic ketika melakukan prosedur tindakan invasif.
Rasional : Tindakan invasif dapat memungkinkan terjadi invasi mikroorganisme.
·         Kolaborasi untuk pemeriksaan kadar leukosit.
Rasional : Peningkatan jumlah leukosit menunjukan adanya infeksi
2.      Hipertermi berhubungan dengan tak efektifnya termoregulasi sekunder terhadap inflamasi
a.       Tujuan : suhu badan dalam batas normal ( 36 – 37,5ºC)
b.      Intervensi :
·         Observasi suhu tubuh pasien
Rasional : dengan memantau suhu diharapkan diketahui keadaan sehingga dapat mengambil tindakan yang tepat.
·         Anjurkan dan berikan banyak minum (sesuai kebutuhan cairan anak menurut umur)
Rasional : dengan banyak minum diharapkan dapat membantu menjaga keseimbangan cairan dalam tubuh.
·         Berikan kompres hangat pada dahi, aksila, perut dan lipatan paha.
Rasional : kompres dapat membantu menurunkan suhu tubuh pasien secara konduksi.
·         Anjurkan untuk memakaikan pasien pakaian tipis, longgar dan mudah menyerap keringat.
Rasional : Dengan pakaian tersebut diharapkan dapat mencegah evaporasi
sehingga cairan tubuh menjadi seimbang.
·         Kolaborasi dalam pemberian antipiretik.
Rasional : antipiretik akan menghambat pelepasan panas oleh hipotalamus.

3.      Nyeri berhubungan dengan interupsi sel saraf
a.       Tujuan : nyeri berkurang
b.      Intervensi :
·         Tentukan karakteristik dan lokasi nyeri, perhatikan isyarat verbal dan non verbal setiap 6 jam
Rasional : menentukan tindak lanjut intervensi.
·         Pantau tekanan darah, nadi dan pernafasan tiap 6 jam
Rasional : nyeri dapat menyebabkan gelisah serta tekanan darah meningkat, nadi, pernafasan meningkat
·         Terapkan tehnik distraksi (berbincang-bincang)
Rasional : mengalihkan perhatian dari rasa nyeri
·         Ajarkan tehnik relaksasi (nafas dalam) dan sarankan untuk mengulangi bila merasa nyeri
Rasional : relaksasi mengurangi ketegangan otot-otot sehingga mengurangi penekanan dan nyeri.
·         Beri dan biarkan pasien memilih posisi yang nyaman
Rasional : mengurangi keteganagan area nyeri.
·         Kolaborasi dalam pemberian analgetika.
Rasional : analgetika akan mencapai pusat rasa nyeri dan menimbulkan penghilangan nyeri.
4.      Perubahan perfusi jaringan b.d penurunan komponen selular untuk pengiriman oksigen/nutrisi ke sel
a.       Tujuan : perfusi jaringan yang adekua
b.      Intervensi
·         Awasi tanda vital, warna kulit, membrane mukosa, dan dasar kuku
Rasional : Memberikan informasi tentang derajat keadekuatan perfusi jaringan dan untuk intervensi selanjutnya
·         Tinggikan tempat tidur sesuai dengan toleransi
Rasional : Meningkatkan ekspansi paru dan memaksimalkan oksigenasi untuk kebutuhan seluler
·         Berikan oksigen tambahan sesuai dengan indikasi
Rasional : Memaksimalkan transport oksigen ke jaringan
·         Kolaborasi dalam pemberian darah merah lengkap sesuai dengan indikasi dan awasi secara ketat untuk komplikasi transfuse
Rasional : Meningkatkan jumlah sel pembawa oksigen dan juga untuk mengurangi resiko pendarahan
5.      Gangguan integritas kulit/ jaringan berhubungan dengan massa tumor mendesak ke jaringan luar
a.       Tujuan : integritas kulit klien membaik
b.      Intervensi :
·         Kaji integritas dan kerusakan jaringan kulit klien.
Rasional :  Mengetahui kerusakan kulit klien untuk menentukan intervensi selanjutnya
·         Kaji adanya drainase, pus, darah, ulkus, dan jaringan nekrotik pada area luka.
Rasional : Mengetahui karakteristik luka untuk menentukan intervensi selanjutnya.
·         Berikan perawatan luka dengan teknik aseptik.
Rasional : Teknik aseptik mengurangi resiko terinfeksinya luka
·         Bersihkan jaringan nekrotik yang ada di sekitar luka.
Rasional : Perawatan pada luka akan membantu mengangkat jaringan yang nekrotik dan mempercepat proses penyembuhannya.
·         Balut luka dengan teknik wet to dry.
Rasional : Kondisi lembab akan membantu proses penyembuhan luka
·         Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian terapi topikal dan sistemik.
Rasional : Terapi topikal dan sistemik membantu proses penyembuhan luka
6.      Intolerans aktivitas berhubungan dengan kelemahan, pertukaran oksigen, malnutrisi, kelelahan.
a.       Tujuan : aktivitas dapat ditingkatkan
b.      Intervensi :
·         Evaluasi respon pasien terhadap aktivitas, peningkatan kelemahan/kelelahan dan perubahan tanda-tanda vital selama dan setelah aktivitas
Rasional : menetapkan kemampuan/kebutuhan pasien dan memudahkan pilihan intervensi
·         Bantu pasien dalam memenuhi kebutuhan ADL
Rasional : meminimalkan kelelahan dan membantu keseimbangan suplay dan kebutuhan oksigen
·         Libatkan keluarga dalam perawatan pasien
Rasional : membantu dan memenuhi ADL pasien
·         Beri aktivitas sesuai dengan kemampuan pasien
Rasional : meminimalkan kelelahan dan membantu keseimbangan suplay dan kebutuhan oksigen).
7.      Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang kurang, meningkatnya kebutuhan metabolic, dan menurunnya absorbsi zat gizi.
a.       Tujuan : kebutuhan nutrisi terpenuhi
b.      Intervensi :
·         Beri makan dalam porsi kecil tapi sering
Rasional : memberikan kesempatan untuk meningkatkan masukan kalori total
·         Timbang BB sesuai indikasi
Rasional : berguna untuk menentukan kebutuhan kalori, evaluasi keadequatan rencana nutrisi
·         Sajikan makanan dalam keadaan hangat dan bervariasi
Rasional : meningkatkan keinginan pasien untuk makan sehingga kebutuhan kalori terpenuhi
·         Ciptakan lingkungan yang nyaman saat makan
Rasional : suasana yang nyaman membantu pasien untuk meningkatkan keinginan untuk makan
·         Beri HE tentang manfaat asupan nutrisi
Rasional : makanan menyediakan kebutuhan kalori untuk tubuh dan dapat membantu proses penyembuhan dan meningkatkan daya tahan tubuh
8.      Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyakit, prognosis, pengobatan dan perawatan
a.       Tujuan : pasien tidak cemas/berkurang
b.      Intervensi
·         Kaji dan pantau tanda ansietas yang terjadi
Rasional ketakutan dapat terjadi karena kurangnya informasi tentang prosedur yang akan dilakukan, tidak tahu tentang penyakit dan keadaannya
·         Jelaskan prosedur tindakan secara sederhana sesuai tingkat pemahaman pasien.
Rasional : memberikan informasi kepada pasien tentang prosedur tindakan akan meningkatkan pemahaman pasien tentang tindakan yang dilakukan untuk mengatasi masalahnya
·         Diskusikan ketegangan dan harapan pasien.
Rasional : untuk mengurangi kecemasan yang dirasakan pasien
Perkuat faktor-faktor pendukung untuk mengurangi ansiates.
Rasional : untuk mengurangi kecemasan yang dirasakan pasien
9.      Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang terpajan informasi
Tujuan : untuk mengetahui penyakit yang diderita
Intervensi :
·         Berikan komunikasi terapiutuk kepada klien dan keluarga klien
Rasional : Memudahkan dalam melakukan prosedur terpiutuk kepada klien
·         Berikan KIE mengenai proses penyakitnya kepada klien dan keluarga klien
Rasional : Klien dan keluarga klien dapat mengetahui proses penyakit yang diderita oleh klien.


D.    Implementasi
Pelaksanaan keperawatan/implementasi harus sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan sebelumnya dan pelaksanaan ini disesuaikan dengan masalah yang terjadi. Dalam pelaksanaan keperawatan ada 4 yang dilakukan yaitu :
1.      Tindakan mandiri
2.      Tindakan observasi
3.      Tindakan health education
4.      Tindakan kolaborasi

E.     Evaluasi
Tahapan evaluasi merupakan proses yang menentukan sejauh mana tujuan dapat dicapai, sehingga dalam mengevaluasi efektivitas tindakan keperawatan, perawat perlu mengetahui kriteria keberhasilan dimana kriteria ini harus dapat diketahui. Dalam evaluasi dapat dikemukakan 4 kemungkinan yang menentukan keperawatan selanjutnya  yaitu :
1)      Masalah klien dapat dipecahkan
2)      Sebagian masalah klien dapat dipecahkan
3)      Masalah klien tidak dapat dipecahkan
4)      Dapat muncul masalah baru.


DAFTAR PUSTAKA

Amori. 2007. Jurnal Nasional : Pengobatan tepat untuk Limfoma.

www.jurnalnasional/limfoma/44356.com. Diakses pada tanggal 15 Oktober 2009.

Anonymous. 2006. Limfoma Maligna. www.wordpress.com. Diakses pada tanggal 15 Oktober 2009.

Carpenito, Lynda Juall. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Jakarta. : EGC

Doenges, Marilyn E, et all. 1993. Nursing Care Plans : Guidelines for Planning and

Documenting Patient Care, Edition 3, F.A. Davis Company, Philadelphia.

Hoffbrand, A.V, et all. 2002. Kapita Selekta Hematologi. Jakarta : EGC
Vinjamaran. 2007. Lymphoma, Non-Hodgkin. www.emedicine.com. Diakses pada tanggal 15 Oktober 2009.

LIMFOMA MALIGNA



Logo Stikes 2009-2010
 













Hamzal Karam


Mengetahui


CI Lahan                                                                             CI. Institusi



(                                               )                                               (                                               )



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NURSE
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MANDALA WALUYA
(STIKES-MW) KENDARI
2 0 1 2