Powered By Blogger

Sabtu, 11 Februari 2012

KEHIDUPAN ANAK YANG DITINGGAL MERANTAU


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang     
Fenomena merantau adalah hal lazim ditemukan pada masyarakat di banyak tempat di Indonesia. Merantau umumnya dilakukan karena berbagai alasan antara lain :  harapan yang akan ditemukan hidup lebih baik di daerah rantau, keadaan yang diidam-idamkam selama berada di negri perantauan (Kesuma, 2004 : 32). Begitu pula pada masyarakat Buton yang berdomisili di Kaimbulawa Siompu melakukan perantauan karena adanya keinginan untuk mencari kehidupan baru yang dapat menjamin kelangsungan hidupnya baik untuk kehidupan pribadi maupun dalam menunjang kehidupan keluarga (La Musa, 2003 : 30). Selain itu ada beberapa alasan terkait dengan pendapat tersebut terutama karena lapangan kerja yang sulit ditempat asal, upah rendah dan tanah tidak subur.
Merantau  pada dasarnya adalah migrasi, tetapi merantau adalah tipe khusus dari migrasi yang memiliki konotasi budaya tersendiri yang tidak mudah di terjemahkan dalam bahasa inggris. Dalam kamus bahasa Indonesia (Zain, 1994 : 1113) menjelaskan bahwa merantau adalah kata kerja yang berawalan me yang berasal dari kata rantau yang artinya pergi kenegri lain untuk mengadu nasib.
Kabupaten Buton sebagai daerah kepulauan secara ekonomi memiliki potensi yang cukup baik dibidang pertanian, kelautan, kerajinan rakyat, kehutanan dan potensi lainnya. Kalau keseluruhan potensi ekonomi ini diolah dengan menggunakan strategi pendekatan program, maka akan membawa tingkat kesejahtraan yang lebih tinggi kepada masyrakatnya, sehingga akan mengurangi kecenderungan adanya migrasi kebiasaan merantau.
Masyarakat yang melakukan kegiatan merantau dengan tujuan sebagai TKI baik legal maupun ilegal bukan saja dilakukan laki-laki tetapi juga perempuan, baik yang telah berkeluarga maupun yang belum berkeluarga. Umumnya mereka  telah berkeluarga dan harus mengorbankan keluarga karena harus berpisah dengan pasangan dan anak-anaknya.
Keluarga khususnya istri yang ditinggal merantau ada yang mampu mengatasi masalah rumah tangganya, termasuk ekonomi keluarga dan bertanggung jawab terhadap aktifitas anak, pendidikan dan kebutuhan gizi anak. Selain itu masalah terpenting adalah terkait dengan anak-anak perantau yang tidak mendapatkan perhatian yang lengkap dari kedua orang tua akibat ditinggal oleh ayah yang relatif lama merantau.
Orang tua merupakan pendidik utama dan pertama bagi anak – anaknya, karena dari orang tua anak  pertama- tama menerima pendidikan. Oleh sebab itu orang tua bertugas sebagai pengasuh, pembimbing dan pemelihara terhadap anak. Setiap orang tua menginginkan anak – anaknya menjadi manusia yang berakhlak dan berhati mulia serta mempunyai tanggung jawab. Akan tetapi sebagian anak  tidak menyadari bahwa mereka  di sayang oleh orang tuanya karena orang tuanya meninggalkan mereka untuk pergi merantau. Persaan – perasaan itulah yang banyak mempengaruhi sikap, perasaan dan cara hidup anak dalam menjalani kehidupannya.
Seharusnya orang tua lebih memperhatikan perkembangan anak, karena kehidupan anak masih didominasi dengan sikap bersenang – senang dan membutuhkan kasih sayang dan perhatian dari kedua orang tuanya. Bukan sebaliknya anak diasuh oleh keluarga dekatnya, karena ada perbedaan anak yang diasuh oleh kedua orang tua kandung dengan keluarga dekatnya. Perbedaan tersebut yaitu apabila anak diasuh oleh kedua orang tua kandungnya anak akan terjamin kehidupannya seperti dalam kegiatan hari – harinya, pendidikannya dan kesehatannnya. Sedangka anak yang diasuh oleh keluarga dekatnya akan merasakan perbedaan rasa kasih sayang yang berbeda walaupun anak diperhatikan seperti orang tua kandungnnya sendiri.
Wasilomata adalah sebuah desa di Kecamatan Mawasangka, mayoritas penduduknya sudah berkeluarga dan banyak anak yang putus sekolah melakukan kegiatan merantau ke Malaysia. Kegiatan ini telah lama dilakukan masyarakat karena umumnya mereka memiliki  semangat yang tinggi untuk pergi meranta. Masyarakat melakukan perantauan karena tanah di daerah ini kurang menjanjikan untuk sumber nafkah keluarga. Tradisi merantau masyarakat Wasilomata dalam melakukan perantauwan juga disebabakan oleh kondisi tanah yang kurang subur dan meningkatnya kebutuhan sehari – hari, juga kurang tersedianya lapangan kerja.
 Merantau umumnya dilakukan oleh kaum laki-laki  yang berstatus sebagai kepala keluarga dan sebagian juga istri ikut suami merantau. Merantaunya kaum laki-laki  telah menyebabkan perempuaan yang berstatus sebagai istri atau ibu rumah tangga menjadi tumpuan harapan keluarga terutama anak-anaknya. Ibu bukan saja sebagai ibu rumah tangga tetapi juga sebagai ayah. Karena  harus melindungi anak, bertanggung jawab terhadap harta benda bahkan melaksanakan kegiatan-kegiatan publik yang semula dikerjakan oleh suami misalnya bekerja di kebun,   menjual bahan kebutuhan hidup sehari-hari dan berdagang.
Banyaknya peran yang dilaksanakan oleh ibu karena ditinggal oleh suami untuk merantau menyebabkan waktu untuk memberikan perhatian kepada anak menjadi kurang maksimal, akibatnya anak larut dalam kehidupan mereka sendiri seperti: menuntut ilmu, bermain, berjualan keliling, bekerja memecah batu dan sebagai tukang belah jambu mete. Anak yang ditinggal ayah merantau menarik diteliti karena bukan tidak mungkin kurang perhatian dari orang tua khususnya ayah. Hal ini juga akan berdampak bagi kehidupan anak-anak itu sendiri terutama dalam menjalankan aktifitas  kehidupan sehari-harinya.


B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan diatas maka rumusan masalah dalam penelitian nantinya “Bagaimana kehidupan anak – anak yang ditinggalkan orang tuanya merantau di desa Wasilomata? “.
C.    Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan hasil penelitian ini adalah :
1.      Untuk mengetahui kehidupan anak yang ditinggal orang tua merantau di Desa Wasilomata Kecamatan Mawasangka Kabupaten Buton.
2.      Untuk mendeskripsikan aktifitas anak yang ditinggal orang tua merantau dalam kehidupan sehari-harinya.
D.    Manfaat Penelitian
 Adapun  manfaat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.      Sebagai sumber informasi terkait dengan anak-anak yang ditinggal orang tua sebagai TKI di Malaysia.
2.       Sebagai bahan masukan bagi pihak terkait dengan masalah TKI untuk menjadi pertimbangan sebelum melakukan perantauan.
3.       Bagi peneliti dapat menambah pengetahuan mengenai kehidupan anak – anak yang ditinggal merantau, dan apa – apa saja aktifitas anak dalam kehidupan sehari – harinya.
4.       Sebagai bahan informasi dan renungan bagi masyarakat umum dan anak – anak yang masih bisa mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tua kandung mereka.














BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Merantau sering dikenal dengan migrasi, sebagaimana dalam kamus Sosiologi dan Kependudukan (Hartini dan G. Kartasapoetra, 1992 : 236) mengemukakan bahwa migrasi diartikan sebagai suatu perpindahan atau gerak penduduk secara permanen dengan melewati perbatasan Negara atau suatu perpindahan penduduk secara permanen dengan menempuh jarak tertentu. Sejalan dengan itu, (Lucas, dkk 1995 : 95) mengemukakan bahwa migrasi sebgai perpindahan yang relatif permanen dari suatu kelompok yang disebut kaum migrant, dari suatu lokasi ke lokasi lainnya. Faktor yang mempengaruhi seseorang dalam pengambilan keputusan untuk migrasi ke suatu wilayah tertentu itu berkaitan dengan pandangan dan image suatu masyarakat tentang ranah budaya (cultural domain). Ranah budaya itu adalah wilayah yang secara kultural dipandang sebagai milik dari masyarakat pendukung kebudayaan itu, sedangkan wilayah yang berada di luar ranah budaya dipandang sebagai wilayah luar.
Para perantau Minangkabau yang berhasil akan sangat dihargai oleh masyarakat. Mereka di dorong untuk membawa sesuatu baik berupa harta atau pengetahuan sebagai symbol keberhasilan untuk kepentingan kampung atau keluarga yang ditinggalkan. Harta dan pengetahuan dibawa akan digunakan untuk membangun atau memperbaiki rumah – rumah para saudara, membeli tanah, membangun mesjid dan sebagainya. Sedangkan pengetahuan dibawa digunakan untuk mengubah atau memajukan daerah, (http///www.google.co.id).
 Beberapa laporan menyatakan bahwa bermigrasinya masyarakat di Indonesia untuk bekerja sebagai TKI khususnya Malaysia karena sebagai strategi untuk mengatasi soal pengangguran dan kemiskinan dan untuk membangun ekonomi nasional. Di Indonesia fenomena tenaga kerja Indonesia (TKI) menjadi sangat penting sebagai sumber kehidupan untuk banyak orang Indonesia dan sebagai devisa negara yang sangat besar, (http///www.google.co.id).
Penelitian merantau bagi orang Minangkabau yang meninggalkan kampung halaman telah membuka cakrawala atau pandangan untuk mengenal daerah diluar Minangkabau, seperti dikatakan “tidak seperti katak di bawah tempurung”. Akibatnya orang minangkabau tidak berpaham sempit dalam hubungan sosial dengan lain suku bangsa. Hasil perantauan pada masa dahulu dibawa pulang untuk menjadi modal dalam membina kecerdasan dan kesejahteraan keluarga. Tetapi tidak membahas tentang kehidupan anak perantau yang ditinggal oleh orang tuanya (http://whelleast.wordpres.com.html).
La Hamid (2001 : 38) dalam penelitiannya mengenai sejarah perantau orang Siompu ke Ambon bahwa penyebab utamanya adalah didorong oleh adanya dan  faktor pendorong dan factor penarik baik dari daerah asal maupun daerah tujuan. Dimana kedua factor tersebut bersumber dari faktor ekonomi, faktor sosial budaya dan politik. Dengan demikian faktor – faktor yang mendorong seseorang merantau untuk meninggalkan daerah asalnya yaitu untuk menambah pendapatan guna menjamin kelangsungan hidup baik untuk kehidupan pribadi maupun dalam keluarga, disamping motif ekonomi kondisi fisik dan ekologis daerah siompu serta struktur susial dan kepemilikan tanah menjadi pemicu utama seseorang melakukan perantauan. 
Pada dasarnya motifasi seseorang merantau lebih bayak karena dipaksa kondisi ekonomi keluarga dan keterbatasan lapangan kerja yang ada di daerah asalnya. Oleh karena itu apa yang diperoleh dirantau lebih banyak dimanfaatkan untuk menghidupi keluarga yang memang sangat memerlukan. Kiriman remitan dari para perantau mempunyai dampak positif  bagi rumah tangga pedesaan dan ekonomi pedesaan (http://whelleast.wordpres.com.html).
 Budiarti dalam Zarit (1989 : 9) menyatakan bahwa faktor sosial budaya merupakan faktor penting yang harus turut diperhatikan untuk menganalisis penyebab tradisi merantau di daerah Aceh. Pertama, di sana struktur sosial masyarakat Aceh yang matrilokal, pasangan pengantin harus tinggal dikerabat istrinya sampai anak pertama lahir (sekitar 3-4 tahun) yang memilki kekuasaan atas rumah yang mereka tempati. Kedua, pola pengasuhan anak yang membuat seseorang anak tidah betah di rumah yang dari kecilnya anak dibiasakan untuk menjauhi rumah sehingga perasaan anak untuk tinggal di rumah terbatas. Ketiga, perantau merupakan sebuah upaya untuk menghindarkan ketidaksesuaian dalam keluarga yang meluas. Dalam sistem keluarga luas suami istri masing-masing tetap merupakan bagian dari keluarga induk.
Perhatian peneliti terhadap dunia anak, terutama terutama anak – yang ditinggalkan oleh keluarga baik secara langsung atau tidak langsung oleh leh orang tuanya maka anak ikut dalam membantu perekonomian keluarganya. Anak beker bukan hanya disebabkan oleh faktor kemiskinan, tetapi  faktor budaya juga berpengaruh terhadap kecenderungan anak untuk bekerja. Sebagian orang tua yang berpendapat bahwa bekerja merupakan proses belajar yang akan berguna bagi perkembangan anak dikemudian hari. Sejalan dengan hal tersebut diatas, (Wiyono, 1997 : 49) menyatakan bahwa selain faktor pendorong, ada beberapa faktor penarik. Antara lain pekerja mudah diatur, tidak membantah, mau bekerja dan mau upah murah. 
Penelitian tentang kehidupan anak di Sulawesi Selatan menyatakan bahwa banyak anak membantu orang tua membuat alat musik dari bambu, sejak pagi hingga siang, disamping masih sekolah, bermain dan rekreasi. Pada malam harinya selalu pula tampil mengadakan pertunjukan kesenian untuk para tamu hotel. Untuk itu waktu mereka tersita sejak jam empat sore sampai jam delapan malam. Dampak negatifnya mereka cepat dewasa karena berbaur dengan kehidupan hotel yang modern dan istimewa (Syamsuddin, 2000 : 89).
 Menurut Fanggidae (1993; 116-119), bahwa anak jalanan yang lahir karena berbagai unsur tersebut menyandang predikat: penjual Koran atau majalah, penjual rokok, permen, tisu, penyemir sepatu, pengamen, pembawa belanjaan ibu rumah tangga, penyewa paying, bahkan sebagai pengatur kendaraan di jalan raya yang sedangkan macet, serta pembersih kendaraan atau tukang sapulantai kendaraan. Anak jalanan menjalani kegiatannya termotifasi oleh hasrat yang besar untuk memperoleh penghasilan sendiri. Apa yang mereka lakukan sebenarnya merupakan upaya mencari nafkah. Bagi yang masih menempuh sekolah, penghasilan yang diperoleh sudah tentu sangat membantu dirinya, paling tidak mengurangi beban orang tua dalam membiayai pendidikannya. Tetapi tidak sedikit pula anak jalanan yang tidak bersekolah lagi, entah tamat atau hanya putus sekolah, dan mencari nafkah dengan menyatuh di jalan kota.   
  Lebih lanjut dikatakan Fanggidae (1993 : 116) bahwa mereka tidak bisa disebut anak terlantar, anak mengelandang, anak pengemis atau anak nakal. Toh anak-anak remaja kita ini dengan nyata-nyatanya melaksanakan kegiatan yang dapat saja disebut menjual jasa dan produk fisik lainnya, diberbagai tempat yang strategis seperti terminal, halte, pusat perbelanjaan, restoran, di atas kereta, api atau bus kota, dan di persimpangan jalan. Anak jalanan muncul karena ketimpangan struktur penduduk, dimana usia muda jumlahnya banyak, sedangkan tingkat kesejahtraan mereka masih minimal sekali. Juga kehadiran anak jalanan tidak terlepas dari pengaruh sosial budaya, pendidikan dan psikologis.
Pola hidup dalam suatu kelompok baik secara individual maupun kolektif selain dipengaruhi oleh nilai-nilai sosial budanyanya juga akan dipengaruhi oleh dinamika lingkunya (trend). Hal ini dipamahami karena dalam dinamika sosial dan ekonomi, manusia cenderung mengalmi dan memiliki kebutuhan yang lebih banyak sehingga berdampak pula pada perubahan prilaku dan pola hidup (Soedjipto, 1987 : 71).
Pola  kehidupan sosial dalam masyarakat, antara lain dapat diamati dari sistem kekerabatan yaitu pola hubungan atau interaksi yang terjadi antara seseorang, kelompok dan keluarganya dan masyarakat luas. Pada kelompok masyarakat tertentu,  sistem kekerabatan ini ditafsirkan beranekaragaman, dimana terdapat masyarakat yang memuat sistem kekerabatan ini sebagai pola hubungan dengan anggota keluarga yang memilki hubungan darah. Dalam pemahaman demikian, mereka akan membatasi diri pada kelompok lain dan tidak meminta pertolongan, akan tetapi seiring dengan perkembangan teknologi manusia (Muchlis, 1990 : 82). Namun disisilain terdapat kelompok masyarakat yang tidak lagi melihat sistem kekerabatan secara sempit, yang terbatas pada anggota keluarga dekat, tetapi justru melihat sistem kekerabatan dalam skala makro baik pola hubungan dengan keluarga maupun dengan pola hubungan masyarakat luas. Seperti kehidupan sosial masyarakat dalam bidang pendidikan, bidang kesehatan akan berbeda menurut tata nilai dan orientasi hidup yang dialaminya.
Realitas kehidupan, pola hidup seseorang atau suatu kelompok dipengaruhi bahkan ditentukan oleh nilai – nilai yang tumbuh dan berkembang dalam diri lingkungannya. Hal ini dapat dipahami dengan menganalisis pandangan (Munandar 1985 : 24) bahwa nilai – nilai yang terkandung dalam gagasan indifidutentang yang baik dilakukan, yang diharapkan atau yang diinginkan. Nilai – nilai tersebut akan mempengaruhi perilaku seseorang dan pada gilirannya akan menentukan pola kehidupannya.     
Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama yang memberi pengaruh sangat besar bagi tumbuh kembangnya anak. Dengan kata lain, secara ideal perkembangan anak  akan optimal apabila mereka bersama keluarganya. Keluarga yang dimaksud adalah keluarga yang harmonis, sehingga anak mendapatkan berbagai jenis kebutuhan. Perubahan sosial, ekonomi dan budaya telah banyak memberikan hasil yang menggembirakan dan berhasil meningkatkan kesejahtraan masyarakat. Namun demikian pada waktu bersamaan, perubahan-perubahan tersebut membawa dampak yang tidak menguntungkan bagi keluarga. Misalnya adanya gejala perubahan cara hidup dan pola hubungan dalam keluarga karena berpisahnya ayah/ibu dengan anak dalam waktu yang lama setiap harinya. Kondisi demikian menyebabkan komunikasi dan intraksi antara sesama anggota keluarga menjadi kurang intens (http//www.compas.com/kompas-cetak/0708/28/opini/37949).
Menjadi orang tua saat remaja juga memaksa kita untuk berpikir secara berbeda tentang konsep tradisional tentang menjadi orang tua. Kehadiran nenek kandung dalam keluarga-keluarga seperti itu dapat menghilangkan dampak-dampak negatif yang dikaitkan dengan pengasuhan oleh ibu remaja (Garcia dalam Matsumoto, 2004 : 115). Seorang nenek sering bertindak sebagai sumber informasi yang amat berharga tentang perkembangan anak. Dia juga cenderung lebih responsif dan lebih sedikit menghukum dari pada si ibu yang masih remaja. Nenek dalam rumah tangga tiga generasi seperti ini punya peran yang amat penting sebagai guru dan contoh bagi anaknya dan ia dapat menyediakan interaksi sosial yang baik dan positif untuk cucunya.
Begitu pula di Trunyan, pengasuhan anak menjadi tanggung jawab ayah dan ibunya, tetapi ada perbedaan dalam hal pengasuhan anak. Utamanya bagi anak-anak  yang jenis kelaminya berbeda, pengasuh anak laki-laki adalah ayahnya sedangkan bagi anak perempuan ialah ibunya. Selain itu masih ada kerabat-kerabat terdekat yang serumah atau se-karang,yang juga turut campur tangan dalam hal pengasuhan anak. Para kerabat itu adalah nenek, kakek, paman, dari pihak ayah sianak, dan juga kandungnya si anak (Danandjaja, 1989 : 516).
Menguatnya peran keluarga inti mempunyai konskuensi terhadap pemeliharaan anak atau kemenakan dari keluarga miskin. Sumber bantuan yang semakin berkurang menyebabkan keluarga harus mengerahkan semua anggota keluarganya untuk bekerja membantu ekonomi keluarga, termasuk anak-anak yang masih dibawah umur. Faktor lainnya yang menyebabkan anak bekerja adalah dipaksa orang tuanya, diculik dan dipaksa bekerja oleh orang yang lebih dewasa, anak ingin mencari uang sendiri, asumsi bahwa dengan bekerja dapat digunakan sebagai sarana bermain dan pembenaran dari budaya bahwa sejak kecil anak harus bekerja (Mulandar, 1996).
Komunikasi antara orang tua dan anak, sikap dan perlakuan orang tua dn anaknya, rasa dan penerimaan tanggung jawab orang tua terhadap anak dapat membawa dampak pada kehidupan anak dimasa kini maupun dimasa tuanya. Oleh karena itu cara berkomunikasi yang baik dengan anak yakni dalam hal ini menurut (Sobur, 1991 : 9) ada tiga resep yang paling mendasar dan kunci bagi keberhasilan membina keakraban dengan anak. Pertama, kita harus mencintai anak tampa pamrih dan sepenuh hati. Kedua, kita harus memahami sifat dan perkembangan anak dan mau mendengar  mereka dan ketiga berlakulah kreatif dan mampu menciptakan suasana yang menyegarkan.
Para ahli antropologi pendidikan dan sosiologi keluarga berpendapat bahwa pada proses sosialisa nilai - nilai budaya, pada awalnya berlangsung media lingkungan rumah tangga, keluarga, berlanjut kesekolah dan seterusnya dalam lingkungan masyarakat yang lebih luas oleh para pendidik, orang tua (ayah dan ibu, paman dan bibi serta kakek dan nenek). Sosialisasi individa bermutu pada lingkungan keluarga. Lebih tegas lagi lingkungan orang tua yang dapat membimbing anak – anaknya semenjak anak dilahirkan sehingga mencapai perkembangannya dalam kebudayaan tertentu, kebudayaan keluarga dan kelompok. Ibu, bapak dan saudara – saudara kandungnya atau wali dan para pendidiknya sejak taman kanak – kanak memberikan pembentukan karakter yang menentukan bagi kepribadianindifidu dan kepribadian sosial yang konsekuensinya berlangsung pada seluruh kehidupa, (Tarimana, 1991 : 1)
  
Nilai anak di mata keluarga yang dianggap sebagai investasi di masa depan bagi orang tuanya merupakan bentuk nilai sosial yang menjadi justifikasi orang tua untuk mempekerjakan anaknya ketika keluarga mengalami kesulitan. Sementara anak-anak yang sejak kecil disosialisasikan dengan nilai harus berbakti kepada orang tua menjadikan anak tidak dapat menolak untuk membantu orang tuanya.  Kondisi ini menurut Afrizal (1999 : 20) disebabkan oleh adanya pandangan bahwa anak mempunyai kegunaan ekonomi. Anak dipahami sebagai sumber jasa dan pendapatan bagi orang tuanya. Oleh karena itu anak mempunyai kewajiban untuk berbakti kepada orangtuanya salah satu bentuk bakti tersebut adalah dengan bekerja membantu ekonomi keluarga.
Begitu pula yang dikemukakan oleh Astiti dalam Ihromi (1999 :236) yang melihat  peranan anak dalam memberi bantuan yang bernilai ekonomi kepada orang tua. Bantuan tersebut umumnya berupa bantuan tenaga kerja maupun bantuan materi, juga dapat dilihat dari adanya pengorbanan orang tua terhadap anak berupa berbagai pengeluaran biaya untuk kepentingan anak. Biaya-biaya tersbut antara lain berupa biaya untuk makan, selamatan, kesehatan dan pendidikan.
Pekerjaan anak hadir baik di sektor formal maupun sektor informal. Masalah pekerjaan anak ini sesungguhnya sangat kompleks dan sangat terkait dengan kondisi sosial, budaya, ekonomi, pendidikan, hukum dan politik yang kita hadapi saat ini. Dengan kenyataan yang ada ini kita tidak bisa tinggal diam begitu saja, melakukan sesuatu bagi anak-anak yang terpaksa bekerja adalah jauh lebih penting. Tujuannya agar mereka mendapatkan perlindungan dan jaminan hukum secara universal, baik haknya sebagai anak maupun haknya sebagai pekerja (Tjandraningsih, 1996 : 57).






BAB III
METODE PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian
Penelitian ini  dilaksanakan  di Kecamatan Mawasangka dengan menfokuskan penelitian pada satu lokasi yakni di Desa Wasilomata didasarkan atas pertimbanagan   bahwa: (1) Di lokasi tersebut masyarakatnya lebih banyak melakukan perantauan karena keadaan geografisnya berupa batuan sehingga hasil bertani sangat minim, selain itu juga kurang tersedianya lapangan kerja, sebagian besar masyarakat memutuskan merantau dengan tujuan ke Malaysia. Para perantau pada umumnya laki- laki dan berstatus sebagai kepala keluarga. Namun demikian ada pula  sebagian istri ikut merantau, yang rata – rata telah  mempunyai anak. (2) Umumnya perantau meninggalkan keluarganya bertahun tahun  sehingga anak-anak hanya mendapat pengasuhan dari ibu, dan keluarga luasnya. Hal ini bukan tidak mungkin berpengaruh terhadap kehidupan anak.
B. Pemilihan Informan
Untuk memperoleh data dan informasi sehubungan dengan permasalahan dalam penelitian ini, maka peneliti mengacu pada (Spradley dalam Endaswara, 2003 : 54) mengidentifikasikan lima persyaratan minimal untuk memperoleh informan yang baik dan salah satunya adalah enkulturasi penuh dimana informan adalah orang yang memahami budayanya dengan begitu baik tampa harus memikirkannya, karena sudah terbiasa dengan hal tersebut. Dengan mengacu pada pandangan tersebut, maka informan dalam penelitian ini difokuskan pada kehidupan anak - anak yang ditingal merantau yakni : (a) Lanusa, Wauni dan Agiangs yang ayahnya meranatu, (b) Wanai, Andi dan Teti yang ayahnya dan ibunya bercerai karena sang ayah lama di peranatuan, (c)  Putri dan Suriani yang ayah dan ibunya sama - sama pergi meranatau dan (d) Latoro dan Anton yang ayahnya berpoligami di perantauan. Menjadi informannya adalah anak – anak, ibu, ayahnya yang sedang berada dikampung, tante (acil) dan om (pamannya) serta keluarga dekat dan teman – teman bermainnya.
Penelitian ini  terfokus pada satu lokasi saja yakni di Desa Wasilomata. Hal ini beralasan karena di Dea ini banyak anak yang berpisah dengan orang tuanya terutama ayah karena ke Malaysia. Dengan demikian peneliti dapat menggali informasi yang cenderung berbeda secara mendalam dari informan – informan yang berbeda – beda. Dengan komposisi informan yang demikian pula, peneliti dapat memperoleh informasi atau data etnografi mendalam berkaitan dengan kehidupan anak – anak yang ditinggal merantau dilingkungan keluarga maupun lingkungan sekolahnya.
 Informasi dalam penelitian ini yakni informan kunci dan informasi dan informasi biasa. Informan kunci dalam hal ini yakni kepala Desa Wasilomata, Bapak S. Ali dari beliaulah diperoleh informasi tentang TKI dari Wasilomata dan berbagai gambaran umum kehidupan keluarga TKI dan masyarakat umumnya sebagai warganya. Dari data beliau lalu ditetapkan informan yang berasal dari keluarga   yang mewakili keluarga yang berkriteria sebagai berikut : (a) ayahnya saja merantau, (b) kedua orang tuanya berpisah karena berada diperantauan, (c) kedua orang tuanya merantau, dan (d) ayahnya berpoligami karena berada diperantauan. Sehingga informan yang ditetapkan yaitu : La Nusa (9 tahun), Wa Uni (7 tahun) dan Agilang (6 tahun), Wa Nai (8 tahun), Andi (12 tahun) dan Teti (9 tahun), Putri (11 tahun), Suriani (14 tahun), La Toro (12 tahun) dan Anton (11 tahun).
C. Tehnik Pengumpulan Data 
Untuk memperoleh data, maka digunakan tehnik pengamatan dan wawancara mendalam. Oleh karena itu penelitian ini bersifat kualitatif, hal ini sebagaimana yang ditulis oleh Spradley dalam Endraswara(2003:207) yaitu: akulturasi penuh, keterlibatan langsung, suasana budaya yang tidak dikenal, waktu yang cukup, non-analitis, dan peneliti berusaha menyimpan pembicaraan informan, membuat penjelasan berulang, dan pengamatan dilakukan untuk bisa berpartisipasi agar terjalin hubungan baik dengan informan.
1.      Pengamatan (observation)
Pengamatan dilakukan secara langsung dengan mengamati aktifitas anak yang ditinggal oleh orang tuanya merantau. Seperti aktifitas anak dalam kehidupan anak setiap harinya misalnya waktu bermain. Ada anak - anak dalam bermain ada yang masih memekai baju seragam sekolah olah raga sambil bermain boi yang terbuat dari tempurung kelapa yang disusun dan bola kecil yang terbuat dari kumpulan plastic bekas bungkusan indumi yang diikatkan dengan beberapa karet. Permainan tersebut dibagi dua kelompok dan masing – masing kelompok beranggotakan 4 orang bahkan lebih dari itu. Kegiatan tersebut dilakukan setelah pulang sekolah.
 Selain itu juga aktifitas anak dalam bersekolah yaitu pagi hari anak Anak – anak berangkat sekolah dengan memaki seragam sekolah, ada anak yang seragamnya sudah kotor dan warnanya sudah pudar lagi bahkan ada anak yang pakainnya sudah tidak layak untuk dipakai lagi tetapi mereka masih semangat untuk berangkat sekolah. Anak – anak tersebut yang kedua orang tuanya merantau sehingga tidak ada yang mengurus pakain mereka. Anak tersebut setelah tiba disekolah mengikuti pelajaran bersama teman – teman lainya. Namun sebelum anak – anak masu kedalam ruangan mereka apel didepan kelas, anak – anak yang berpakain kotor tersebut diperingati bahwa besoknya dia tidak bisa berpakain seperti itu dan anak tersebut hanya menunduk saja dan kemudian masuk kedalam ruangan sambil duduk dibangkunya sambil memperhatikan gurunya menjelaskan.      
Ada sebagian anak yang  ke sekolah sambil membawa jualan seperti ubi goreng, onde – onde yang terbuat dari ubi, kerupuk, taripang dan roti goreng. Anak tersebut berangkat kesekolah lebih awal dari teman – temanya karena setiba dri sekolah anak – anak tersebut duduk berjejeran di depan pintu masuk gerbang sekolah sambil menunggu para pembeli. Para pembeli bukan hanya anak – anak sekolahan tetapi orang lain atau masyarakat sekitar membeli untuk sarapan. Apabila bel apel berbunyi anak anak tersebut mulai menghentikan jualannya dan ikut bergabung bersama teman – teman lainnya untuk mendengarkan pidato dari guru yang piket. Setelah  itu masuk kedalam ruangan masing – masing dan jualannya disimpan di luar ruangan.
Ada juga seorang anak yang tidak sekolah dan kegiatannya hanya membantu ibunya mencari nafkah. Setiap paginya anak tersebut membatu ibunya pergi kekebun untuk menggali ubi dan ubi tersebut di olah menjadi Kaati. Kemudian kaati tersebut dijual kepasar untuk menambah penghasilan keluarga.
Pengamatan tersebut dilakukan untuk memahami secara dekat, bahkan peneliti berusaha bersama-sama anak yang ditinggalkan oleh orang tuanya merantau, dalam melakukan aktifitasnya seperti ikut berjualan yang dilakukan  anak. Dalam hal ini peneliti dengan sengaja menginap di rumah anak yang orang tuanya merantau.
2.      Wawancara Mendalam (indepth interview)
Untuk memperoleh data mengenai masalah yang diteliti, maka peneliti menggunakan tehnik wawancara. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar diperoleh data yang lengkap dari setiap informan dengan membuat pedoman wawancara terlebih dahulu sebelum melakukan penelitian langsung di lapangan. Pedoman wawancara dibuat untuk mengetahui hal-hal apa saja yang akan ditanyakan. Pedoman wawancara tersebut kemudian dikembangkan dilapangan oleh peneliti untuk memperoleh data yang akurat.
Adapun pertayaan dalam wawancara mendalam bagaimana aktifitas anak dalam menjalani kehidupannya sehari – hari, yang dimulai dari pagi hari hingga malam hari. Kegiatan yang dilakukan seorang anak ketika pagi hari yaitu sebagian anak menjual gorengan buatan dari ibu mereka dan ada juga yang berjualan sambil bersekolah. Ada sebagian anak yang putus sekolah disebabkan oleh keadaan ekonomi keuluarganya tidak cukup untuk biaya sekolah. Dengan keadaan tersebut sehingga dapat membedakan antara anak yang ditinggal orang tuanya merantau bisa tercukupi kebutuhan sehari – harinya tetapi kurang kasih sayang dari rang tua terutama ayah. Hal tersebut tidak membuat semangat anak berhenti dalam menjalani pekerjaannya masing-masing.
D. Analisis Data  
Analisis data di lakukan dari awal hingga akhir penelitian. Data – data yang dianalisa berkaitan dengan kehidupan anak yang ditinggal merantau orang tuanya yang meliputi aktifitas anak – anak dirumah, aktifitas anak – anak disekolah dan aktifitas anak dalam membantu kehidupan keluarganya. Analisis terhadap data – data tersebut yang merupakan kombinasi hasil wawancara dan pengamatan kemudian diinterpestasikan dengan mengacu pada keterkaitan antara berbagai konsep, teori dengan fenomena sosial sehingga mampu menjawab permasalahan penelitian mengenai kehidupan anak yang ditinggal oleh orang tuanya merantau. Hal ini mengacu pada (Endraswara, 2003 : 40) yang mengatakan bahwa dengan melakukan analisis data secara terus menerus, maka peneliti dapat memperoleh pemahaman yang utuh mengenai hasil penelitian, guna memecahkan permasalahan diteliti.

1 komentar:

  1. pak mana daftar pustakanya ..................kok g da, aku lagi butuh karya bapak untk referensi.......makasiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiis

    BalasHapus