
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Fenomena merantau adalah hal lazim ditemukan pada
masyarakat di banyak tempat di Indonesia. Merantau umumnya dilakukan karena
berbagai alasan antara lain : harapan
yang akan ditemukan hidup lebih baik di daerah rantau, keadaan yang
diidam-idamkam selama berada di negri perantauan (Kesuma, 2004 : 32). Begitu
pula pada masyarakat Buton yang berdomisili di Kaimbulawa Siompu melakukan
perantauan karena adanya keinginan untuk mencari kehidupan baru yang dapat
menjamin kelangsungan hidupnya baik untuk kehidupan pribadi maupun dalam
menunjang kehidupan keluarga (La Musa, 2003 : 30). Selain itu ada beberapa
alasan terkait dengan pendapat tersebut terutama karena lapangan kerja yang
sulit ditempat asal, upah rendah dan tanah tidak subur.
Merantau pada
dasarnya adalah migrasi, tetapi merantau adalah tipe khusus dari migrasi yang
memiliki konotasi budaya tersendiri yang tidak mudah di terjemahkan dalam
bahasa inggris. Dalam kamus bahasa Indonesia (Zain, 1994 : 1113) menjelaskan
bahwa merantau adalah kata kerja yang berawalan me yang berasal dari kata rantau yang artinya pergi kenegri lain
untuk mengadu nasib.
Kabupaten Buton
sebagai daerah kepulauan secara ekonomi memiliki potensi yang cukup baik
dibidang pertanian, kelautan, kerajinan rakyat, kehutanan dan potensi lainnya.
Kalau keseluruhan potensi ekonomi ini diolah dengan menggunakan strategi
pendekatan program, maka akan membawa tingkat kesejahtraan yang lebih tinggi
kepada masyrakatnya, sehingga akan mengurangi kecenderungan adanya migrasi
kebiasaan merantau.
Masyarakat yang
melakukan kegiatan merantau dengan tujuan sebagai TKI baik legal maupun ilegal
bukan saja dilakukan laki-laki tetapi juga perempuan, baik yang telah
berkeluarga maupun yang belum berkeluarga. Umumnya mereka telah berkeluarga dan harus mengorbankan
keluarga karena harus berpisah dengan pasangan dan anak-anaknya.
Keluarga
khususnya istri yang ditinggal merantau ada yang mampu mengatasi masalah rumah
tangganya, termasuk ekonomi keluarga dan bertanggung jawab terhadap aktifitas
anak, pendidikan dan kebutuhan gizi anak. Selain itu masalah terpenting adalah
terkait dengan anak-anak perantau yang tidak mendapatkan perhatian yang lengkap
dari kedua orang tua akibat ditinggal oleh ayah yang relatif lama merantau.
Orang tua
merupakan pendidik utama dan pertama bagi anak – anaknya, karena dari orang tua
anak pertama- tama menerima pendidikan.
Oleh sebab itu orang tua bertugas sebagai pengasuh, pembimbing dan pemelihara
terhadap anak. Setiap orang tua menginginkan anak – anaknya menjadi manusia
yang berakhlak dan berhati mulia serta mempunyai tanggung jawab. Akan tetapi
sebagian anak tidak menyadari bahwa
mereka di sayang oleh orang tuanya
karena orang tuanya meninggalkan mereka untuk pergi merantau. Persaan –
perasaan itulah yang banyak mempengaruhi sikap, perasaan dan cara hidup anak
dalam menjalani kehidupannya.
Seharusnya orang
tua lebih memperhatikan perkembangan anak, karena kehidupan anak masih
didominasi dengan sikap bersenang – senang dan membutuhkan kasih sayang dan
perhatian dari kedua orang tuanya. Bukan sebaliknya anak diasuh oleh keluarga
dekatnya, karena ada perbedaan anak yang diasuh oleh kedua orang tua kandung
dengan keluarga dekatnya. Perbedaan tersebut yaitu apabila anak diasuh oleh
kedua orang tua kandungnya anak akan terjamin kehidupannya seperti dalam
kegiatan hari – harinya, pendidikannya dan kesehatannnya. Sedangka anak yang
diasuh oleh keluarga dekatnya akan merasakan perbedaan rasa kasih sayang yang
berbeda walaupun anak diperhatikan seperti orang tua kandungnnya sendiri.
Wasilomata
adalah sebuah desa di Kecamatan Mawasangka, mayoritas penduduknya sudah
berkeluarga dan banyak anak yang putus sekolah melakukan kegiatan merantau ke
Malaysia. Kegiatan ini telah lama dilakukan masyarakat karena umumnya mereka
memiliki semangat yang tinggi untuk
pergi meranta. Masyarakat melakukan perantauan karena tanah di daerah ini
kurang menjanjikan untuk sumber nafkah keluarga. Tradisi merantau masyarakat
Wasilomata dalam melakukan perantauwan juga disebabakan oleh kondisi tanah yang
kurang subur dan meningkatnya kebutuhan sehari – hari, juga kurang tersedianya
lapangan kerja.
Merantau umumnya dilakukan oleh kaum
laki-laki yang berstatus sebagai kepala
keluarga dan sebagian juga istri ikut suami merantau. Merantaunya kaum
laki-laki telah menyebabkan perempuaan
yang berstatus sebagai istri atau ibu rumah tangga menjadi tumpuan harapan
keluarga terutama anak-anaknya. Ibu bukan saja sebagai ibu rumah tangga tetapi
juga sebagai ayah. Karena harus
melindungi anak, bertanggung jawab terhadap harta benda bahkan melaksanakan
kegiatan-kegiatan publik yang semula dikerjakan oleh suami misalnya bekerja di kebun, menjual bahan kebutuhan hidup sehari-hari dan
berdagang.
Banyaknya peran
yang dilaksanakan oleh ibu karena ditinggal oleh suami untuk merantau
menyebabkan waktu untuk memberikan perhatian kepada anak menjadi kurang
maksimal, akibatnya anak larut dalam kehidupan mereka sendiri seperti: menuntut
ilmu, bermain, berjualan keliling, bekerja memecah batu dan sebagai tukang
belah jambu mete. Anak yang ditinggal ayah merantau menarik diteliti karena
bukan tidak mungkin kurang perhatian dari orang tua khususnya ayah. Hal ini
juga akan berdampak bagi kehidupan anak-anak itu sendiri terutama dalam
menjalankan aktifitas kehidupan
sehari-harinya.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang yang dikemukakan diatas maka rumusan masalah dalam penelitian
nantinya “Bagaimana kehidupan anak – anak yang ditinggalkan orang tuanya
merantau di desa Wasilomata? “.
C.
Tujuan
Penelitian
Adapun tujuan
yang ingin dicapai dalam penulisan hasil penelitian ini adalah :
1. Untuk
mengetahui kehidupan anak yang ditinggal orang tua merantau di Desa Wasilomata
Kecamatan Mawasangka Kabupaten Buton.
2. Untuk
mendeskripsikan aktifitas anak yang ditinggal orang tua merantau dalam
kehidupan sehari-harinya.
D.
Manfaat
Penelitian
Adapun
manfaat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Sebagai
sumber informasi terkait dengan anak-anak yang ditinggal orang tua sebagai TKI
di Malaysia.
2.
Sebagai bahan masukan bagi pihak terkait
dengan masalah TKI untuk menjadi pertimbangan sebelum melakukan perantauan.
3.
Bagi peneliti dapat menambah pengetahuan
mengenai kehidupan anak – anak yang ditinggal merantau, dan apa – apa saja
aktifitas anak dalam kehidupan sehari – harinya.
4.
Sebagai bahan informasi dan renungan
bagi masyarakat umum dan anak – anak yang masih bisa mendapatkan kasih sayang
dari kedua orang tua kandung mereka.

TINJAUAN
PUSTAKA
Merantau sering
dikenal dengan migrasi, sebagaimana dalam kamus Sosiologi dan Kependudukan
(Hartini dan G. Kartasapoetra, 1992 : 236) mengemukakan bahwa migrasi diartikan
sebagai suatu perpindahan atau gerak penduduk secara permanen dengan melewati
perbatasan Negara atau suatu perpindahan penduduk secara permanen dengan
menempuh jarak tertentu. Sejalan dengan itu, (Lucas, dkk 1995 : 95)
mengemukakan bahwa migrasi sebgai perpindahan yang relatif permanen dari suatu
kelompok yang disebut kaum migrant, dari suatu lokasi ke lokasi lainnya. Faktor
yang mempengaruhi seseorang dalam pengambilan keputusan untuk migrasi ke suatu
wilayah tertentu itu berkaitan dengan pandangan dan image suatu masyarakat tentang ranah budaya (cultural domain). Ranah budaya itu adalah wilayah yang secara
kultural dipandang sebagai milik dari masyarakat pendukung kebudayaan itu,
sedangkan wilayah yang berada di luar ranah budaya dipandang sebagai wilayah
luar.
Para
perantau Minangkabau yang berhasil akan sangat dihargai oleh masyarakat. Mereka
di dorong untuk membawa sesuatu baik berupa harta atau pengetahuan sebagai
symbol keberhasilan untuk kepentingan kampung atau keluarga yang ditinggalkan.
Harta dan pengetahuan dibawa akan digunakan untuk membangun atau memperbaiki
rumah – rumah para saudara, membeli tanah, membangun mesjid dan sebagainya.
Sedangkan pengetahuan dibawa digunakan untuk mengubah atau memajukan daerah, (http///www.google.co.id).
Beberapa laporan menyatakan bahwa
bermigrasinya masyarakat di Indonesia untuk bekerja sebagai TKI khususnya
Malaysia karena sebagai strategi untuk mengatasi soal pengangguran dan
kemiskinan dan untuk membangun ekonomi nasional. Di Indonesia fenomena tenaga
kerja Indonesia (TKI) menjadi sangat penting sebagai sumber kehidupan untuk
banyak orang Indonesia dan sebagai devisa negara yang sangat besar, (http///www.google.co.id).
Penelitian merantau bagi orang Minangkabau yang
meninggalkan kampung halaman telah membuka cakrawala atau pandangan untuk
mengenal daerah diluar Minangkabau, seperti dikatakan “tidak seperti katak di
bawah tempurung”. Akibatnya orang minangkabau tidak berpaham sempit dalam
hubungan sosial dengan lain suku bangsa. Hasil perantauan pada masa dahulu
dibawa pulang untuk menjadi modal dalam membina kecerdasan dan kesejahteraan
keluarga. Tetapi tidak membahas tentang kehidupan anak perantau yang ditinggal
oleh orang tuanya (http://whelleast.wordpres.com.html).
La Hamid (2001 : 38) dalam
penelitiannya mengenai sejarah perantau orang Siompu ke Ambon bahwa penyebab
utamanya adalah didorong oleh adanya dan
faktor pendorong dan factor penarik baik dari daerah asal maupun daerah
tujuan. Dimana kedua factor tersebut bersumber dari faktor ekonomi, faktor
sosial budaya dan politik. Dengan demikian faktor – faktor yang mendorong
seseorang merantau untuk meninggalkan daerah asalnya yaitu untuk menambah
pendapatan guna menjamin kelangsungan
hidup baik untuk kehidupan pribadi maupun dalam keluarga, disamping motif
ekonomi kondisi fisik dan ekologis daerah siompu serta struktur susial dan
kepemilikan tanah menjadi pemicu utama seseorang melakukan perantauan.
Pada
dasarnya motifasi seseorang merantau lebih bayak karena dipaksa kondisi ekonomi
keluarga dan keterbatasan lapangan kerja yang ada di daerah asalnya. Oleh
karena itu apa yang diperoleh dirantau lebih banyak dimanfaatkan untuk
menghidupi keluarga yang memang sangat memerlukan. Kiriman remitan dari para
perantau mempunyai dampak positif bagi
rumah tangga pedesaan dan ekonomi pedesaan (http://whelleast.wordpres.com.html).
Budiarti dalam Zarit (1989
: 9) menyatakan bahwa faktor sosial budaya merupakan faktor penting yang harus
turut diperhatikan untuk menganalisis penyebab tradisi merantau di daerah Aceh.
Pertama, di sana struktur sosial masyarakat Aceh yang matrilokal, pasangan
pengantin harus tinggal dikerabat istrinya sampai anak pertama lahir (sekitar
3-4 tahun) yang memilki kekuasaan atas rumah yang mereka tempati. Kedua, pola pengasuhan anak yang
membuat seseorang anak tidah betah di rumah yang dari kecilnya anak dibiasakan
untuk menjauhi rumah sehingga perasaan anak untuk tinggal di rumah terbatas. Ketiga, perantau
merupakan sebuah upaya untuk menghindarkan ketidaksesuaian dalam keluarga yang
meluas. Dalam sistem keluarga luas suami istri masing-masing tetap merupakan
bagian dari keluarga induk.
Perhatian peneliti
terhadap dunia anak, terutama terutama anak – yang ditinggalkan oleh keluarga
baik secara langsung atau tidak langsung oleh leh orang tuanya maka anak ikut
dalam membantu perekonomian keluarganya. Anak beker bukan hanya disebabkan oleh
faktor kemiskinan, tetapi faktor budaya
juga berpengaruh terhadap kecenderungan anak untuk bekerja. Sebagian orang tua
yang berpendapat bahwa bekerja merupakan proses belajar yang akan berguna bagi
perkembangan anak dikemudian hari. Sejalan dengan hal tersebut diatas, (Wiyono,
1997 : 49) menyatakan bahwa selain faktor pendorong, ada beberapa faktor
penarik. Antara lain pekerja mudah diatur, tidak membantah, mau bekerja dan mau
upah murah.
Penelitian
tentang kehidupan anak di Sulawesi Selatan menyatakan bahwa banyak anak
membantu orang tua membuat alat musik dari bambu, sejak pagi hingga siang,
disamping masih sekolah, bermain dan rekreasi. Pada malam harinya selalu pula
tampil mengadakan pertunjukan kesenian untuk para tamu hotel. Untuk itu waktu
mereka tersita sejak jam empat sore sampai jam delapan malam. Dampak negatifnya
mereka cepat dewasa karena berbaur dengan kehidupan hotel yang modern dan
istimewa (Syamsuddin, 2000 : 89).
Menurut Fanggidae (1993; 116-119), bahwa anak
jalanan yang lahir karena berbagai unsur tersebut menyandang predikat: penjual
Koran atau majalah, penjual rokok, permen, tisu, penyemir sepatu, pengamen,
pembawa belanjaan ibu rumah tangga, penyewa paying, bahkan sebagai pengatur
kendaraan di jalan raya yang sedangkan macet, serta pembersih kendaraan atau
tukang sapulantai kendaraan. Anak jalanan menjalani kegiatannya termotifasi
oleh hasrat yang besar untuk memperoleh penghasilan sendiri. Apa yang mereka
lakukan sebenarnya merupakan upaya mencari nafkah. Bagi yang masih menempuh
sekolah, penghasilan yang diperoleh sudah tentu sangat membantu dirinya, paling
tidak mengurangi beban orang tua dalam membiayai pendidikannya. Tetapi tidak
sedikit pula anak jalanan yang tidak bersekolah lagi, entah tamat atau hanya
putus sekolah, dan mencari nafkah dengan menyatuh di jalan kota.
Lebih lanjut dikatakan Fanggidae (1993 : 116)
bahwa mereka tidak bisa disebut anak terlantar, anak mengelandang, anak
pengemis atau anak nakal. Toh anak-anak remaja kita ini dengan nyata-nyatanya
melaksanakan kegiatan yang dapat saja disebut menjual jasa dan produk fisik
lainnya, diberbagai tempat yang strategis seperti terminal, halte, pusat
perbelanjaan, restoran, di atas kereta, api atau bus kota, dan di persimpangan
jalan. Anak jalanan muncul karena ketimpangan struktur penduduk, dimana usia
muda jumlahnya banyak, sedangkan tingkat kesejahtraan mereka masih minimal
sekali. Juga kehadiran anak jalanan tidak terlepas dari pengaruh sosial budaya,
pendidikan dan psikologis.
Pola hidup dalam suatu
kelompok baik secara individual maupun kolektif selain
dipengaruhi oleh nilai-nilai sosial budanyanya juga akan dipengaruhi oleh
dinamika lingkunya (trend). Hal ini dipamahami karena dalam dinamika sosial dan
ekonomi, manusia cenderung mengalmi dan memiliki kebutuhan yang lebih banyak
sehingga berdampak pula pada perubahan prilaku dan pola hidup (Soedjipto, 1987
: 71).
Pola kehidupan sosial dalam masyarakat, antara
lain dapat diamati dari sistem kekerabatan yaitu pola hubungan atau interaksi
yang terjadi antara seseorang, kelompok dan keluarganya dan masyarakat luas.
Pada kelompok masyarakat tertentu,
sistem kekerabatan ini ditafsirkan beranekaragaman, dimana terdapat
masyarakat yang memuat sistem kekerabatan ini sebagai pola hubungan dengan
anggota keluarga yang memilki hubungan darah. Dalam pemahaman demikian, mereka
akan membatasi diri pada kelompok lain dan tidak meminta pertolongan, akan
tetapi seiring dengan perkembangan teknologi manusia (Muchlis, 1990 : 82).
Namun disisilain terdapat kelompok masyarakat yang tidak lagi melihat sistem
kekerabatan secara sempit, yang terbatas pada anggota keluarga dekat, tetapi
justru melihat sistem kekerabatan dalam skala makro baik pola hubungan dengan
keluarga maupun dengan pola hubungan masyarakat luas. Seperti kehidupan sosial
masyarakat dalam bidang pendidikan, bidang kesehatan akan berbeda menurut tata
nilai dan orientasi hidup yang dialaminya.
Realitas
kehidupan, pola hidup seseorang atau suatu kelompok dipengaruhi bahkan
ditentukan oleh nilai – nilai yang tumbuh dan berkembang dalam diri
lingkungannya. Hal ini dapat dipahami dengan menganalisis pandangan (Munandar
1985 : 24) bahwa nilai – nilai yang terkandung dalam gagasan indifidutentang
yang baik dilakukan, yang diharapkan atau yang diinginkan. Nilai – nilai
tersebut akan mempengaruhi perilaku seseorang dan pada gilirannya akan
menentukan pola kehidupannya.
Keluarga
merupakan lingkungan sosial pertama yang memberi pengaruh sangat besar bagi
tumbuh kembangnya anak. Dengan kata lain, secara ideal perkembangan anak akan optimal apabila mereka bersama
keluarganya. Keluarga yang dimaksud adalah keluarga yang harmonis, sehingga
anak mendapatkan berbagai jenis kebutuhan. Perubahan sosial, ekonomi dan budaya
telah banyak memberikan hasil yang menggembirakan dan berhasil meningkatkan
kesejahtraan masyarakat. Namun demikian pada waktu bersamaan,
perubahan-perubahan tersebut membawa dampak yang tidak menguntungkan bagi
keluarga. Misalnya adanya gejala perubahan cara hidup dan pola hubungan dalam
keluarga karena berpisahnya ayah/ibu dengan anak dalam waktu yang lama setiap
harinya. Kondisi demikian menyebabkan komunikasi dan intraksi antara sesama
anggota keluarga menjadi kurang intens
(http//www.compas.com/kompas-cetak/0708/28/opini/37949).
Menjadi orang
tua saat remaja juga memaksa kita untuk berpikir secara berbeda tentang konsep
tradisional tentang menjadi orang tua. Kehadiran nenek kandung dalam
keluarga-keluarga seperti itu dapat menghilangkan dampak-dampak negatif yang
dikaitkan dengan pengasuhan oleh ibu remaja (Garcia dalam Matsumoto, 2004 :
115). Seorang nenek sering bertindak sebagai sumber informasi yang amat
berharga tentang perkembangan anak. Dia juga cenderung lebih responsif dan
lebih sedikit menghukum dari pada si ibu yang masih remaja. Nenek dalam rumah
tangga tiga generasi seperti ini punya peran yang amat penting sebagai guru dan
contoh bagi anaknya dan ia dapat menyediakan interaksi sosial yang baik dan
positif untuk cucunya.
Begitu pula di
Trunyan, pengasuhan anak menjadi tanggung jawab ayah dan ibunya, tetapi ada
perbedaan dalam hal pengasuhan anak. Utamanya bagi anak-anak yang jenis kelaminya berbeda, pengasuh anak
laki-laki adalah ayahnya sedangkan bagi anak perempuan ialah ibunya. Selain itu
masih ada kerabat-kerabat terdekat yang serumah atau se-karang,yang juga turut campur tangan dalam hal pengasuhan anak.
Para kerabat itu adalah nenek, kakek, paman, dari pihak ayah sianak, dan juga
kandungnya si anak (Danandjaja, 1989 : 516).
Menguatnya peran keluarga
inti mempunyai konskuensi terhadap pemeliharaan anak atau kemenakan dari
keluarga miskin. Sumber bantuan yang semakin berkurang menyebabkan keluarga
harus mengerahkan semua anggota keluarganya untuk bekerja membantu ekonomi
keluarga, termasuk anak-anak yang masih dibawah umur. Faktor lainnya yang
menyebabkan anak bekerja adalah dipaksa orang tuanya, diculik dan dipaksa
bekerja oleh orang yang lebih dewasa, anak ingin mencari uang sendiri, asumsi
bahwa dengan bekerja dapat digunakan sebagai sarana bermain dan pembenaran dari
budaya bahwa sejak kecil anak harus bekerja (Mulandar, 1996).
Komunikasi antara orang
tua dan anak, sikap dan perlakuan orang tua dn anaknya, rasa dan penerimaan
tanggung jawab orang tua terhadap anak dapat membawa dampak pada kehidupan anak
dimasa kini maupun dimasa tuanya. Oleh karena itu cara berkomunikasi yang baik
dengan anak yakni dalam hal ini menurut (Sobur, 1991 : 9) ada tiga resep yang
paling mendasar dan kunci bagi keberhasilan membina keakraban dengan anak.
Pertama, kita harus mencintai anak tampa pamrih dan sepenuh hati. Kedua, kita
harus memahami sifat dan perkembangan anak dan mau mendengar mereka dan ketiga berlakulah kreatif dan
mampu menciptakan suasana yang menyegarkan.
Para ahli antropologi
pendidikan dan sosiologi keluarga berpendapat bahwa pada proses sosialisa nilai
- nilai budaya, pada awalnya berlangsung media lingkungan rumah tangga,
keluarga, berlanjut kesekolah dan seterusnya dalam lingkungan masyarakat yang
lebih luas oleh para pendidik, orang tua (ayah dan ibu, paman dan bibi serta
kakek dan nenek). Sosialisasi individa bermutu pada lingkungan keluarga. Lebih
tegas lagi lingkungan orang tua yang dapat membimbing anak – anaknya semenjak
anak dilahirkan sehingga mencapai perkembangannya dalam kebudayaan tertentu,
kebudayaan keluarga dan kelompok. Ibu, bapak dan saudara – saudara kandungnya atau
wali dan para pendidiknya sejak taman kanak – kanak memberikan pembentukan
karakter yang menentukan bagi kepribadianindifidu dan kepribadian sosial yang
konsekuensinya berlangsung pada seluruh kehidupa, (Tarimana, 1991 : 1)
Nilai anak di mata
keluarga yang dianggap sebagai investasi di masa depan bagi orang tuanya
merupakan bentuk nilai sosial yang menjadi justifikasi orang tua untuk
mempekerjakan anaknya ketika keluarga mengalami kesulitan. Sementara anak-anak
yang sejak kecil disosialisasikan dengan nilai harus berbakti kepada orang tua
menjadikan anak tidak dapat menolak untuk membantu orang tuanya. Kondisi
ini menurut Afrizal (1999 : 20) disebabkan oleh adanya pandangan bahwa anak mempunyai
kegunaan ekonomi. Anak dipahami sebagai sumber jasa dan pendapatan bagi orang
tuanya. Oleh karena itu anak mempunyai kewajiban untuk berbakti kepada
orangtuanya salah satu bentuk bakti tersebut adalah dengan bekerja membantu
ekonomi keluarga.
Begitu
pula yang dikemukakan oleh Astiti dalam Ihromi (1999 :236) yang melihat peranan anak dalam memberi bantuan yang
bernilai ekonomi kepada orang tua. Bantuan tersebut umumnya berupa bantuan
tenaga kerja maupun bantuan materi, juga dapat dilihat dari adanya pengorbanan
orang tua terhadap anak berupa berbagai pengeluaran biaya untuk kepentingan
anak. Biaya-biaya tersbut antara lain berupa biaya untuk makan, selamatan,
kesehatan dan pendidikan.
Pekerjaan
anak hadir baik di sektor formal maupun sektor informal. Masalah pekerjaan anak
ini sesungguhnya sangat kompleks dan sangat terkait dengan kondisi sosial,
budaya, ekonomi, pendidikan, hukum dan politik yang kita hadapi saat ini.
Dengan kenyataan yang ada ini kita tidak bisa tinggal diam begitu saja,
melakukan sesuatu bagi anak-anak yang terpaksa bekerja adalah jauh lebih penting.
Tujuannya agar mereka mendapatkan perlindungan dan jaminan hukum secara
universal, baik haknya sebagai anak maupun haknya sebagai pekerja
(Tjandraningsih, 1996 : 57).

METODE PENELITIAN
A. Lokasi
Penelitian
Penelitian
ini dilaksanakan di Kecamatan Mawasangka dengan menfokuskan
penelitian pada satu lokasi yakni di Desa Wasilomata didasarkan atas
pertimbanagan bahwa: (1) Di lokasi
tersebut masyarakatnya lebih banyak melakukan perantauan karena keadaan
geografisnya berupa batuan sehingga hasil bertani sangat minim, selain itu juga kurang tersedianya lapangan kerja, sebagian besar masyarakat memutuskan merantau dengan
tujuan ke Malaysia. Para perantau pada umumnya laki-
laki dan berstatus sebagai kepala keluarga.
Namun demikian ada pula sebagian istri ikut merantau, yang rata – rata telah mempunyai anak. (2) Umumnya perantau meninggalkan
keluarganya bertahun – tahun sehingga anak-anak hanya mendapat pengasuhan
dari ibu, dan keluarga luasnya. Hal ini bukan tidak mungkin berpengaruh
terhadap kehidupan anak.
B. Pemilihan
Informan
Untuk
memperoleh data dan informasi sehubungan dengan permasalahan dalam penelitian
ini, maka peneliti mengacu pada (Spradley dalam Endaswara, 2003 : 54)
mengidentifikasikan lima persyaratan minimal untuk memperoleh informan yang
baik dan salah satunya adalah enkulturasi penuh dimana informan adalah orang
yang memahami budayanya dengan begitu baik tampa harus memikirkannya, karena
sudah terbiasa dengan hal tersebut. Dengan mengacu pada pandangan tersebut,
maka informan dalam penelitian ini difokuskan pada kehidupan anak - anak yang ditingal merantau
yakni : (a) Lanusa, Wauni dan Agiangs yang ayahnya meranatu, (b) Wanai, Andi
dan Teti yang ayahnya dan ibunya bercerai karena sang ayah lama di peranatuan,
(c) Putri dan Suriani yang ayah dan
ibunya sama - sama pergi meranatau dan (d) Latoro dan Anton yang ayahnya
berpoligami di perantauan. Menjadi informannya adalah anak – anak, ibu, ayahnya
yang sedang berada dikampung, tante (acil) dan om (pamannya) serta keluarga
dekat dan teman – teman bermainnya.
Penelitian ini terfokus
pada satu lokasi saja yakni di Desa Wasilomata. Hal ini beralasan karena di Dea ini banyak anak yang berpisah dengan orang
tuanya terutama ayah karena ke Malaysia. Dengan demikian peneliti
dapat menggali informasi yang cenderung berbeda secara mendalam dari informan –
informan yang berbeda – beda. Dengan komposisi informan yang demikian pula,
peneliti dapat memperoleh informasi atau data etnografi mendalam berkaitan
dengan kehidupan anak – anak yang ditinggal
merantau dilingkungan keluarga maupun lingkungan sekolahnya.
Informasi
dalam penelitian ini yakni informan kunci dan informasi dan informasi biasa.
Informan kunci dalam hal ini yakni kepala Desa Wasilomata, Bapak S. Ali dari
beliaulah diperoleh informasi tentang TKI dari Wasilomata dan berbagai gambaran
umum kehidupan keluarga TKI dan masyarakat umumnya sebagai warganya. Dari data
beliau lalu ditetapkan informan yang berasal dari keluarga yang
mewakili keluarga yang berkriteria sebagai berikut : (a) ayahnya saja merantau,
(b) kedua orang tuanya berpisah karena berada diperantauan, (c) kedua orang
tuanya merantau, dan (d) ayahnya berpoligami karena berada diperantauan.
Sehingga informan yang ditetapkan yaitu : La Nusa (9 tahun), Wa Uni (7 tahun)
dan Agilang (6 tahun), Wa Nai (8 tahun), Andi (12 tahun) dan Teti (9 tahun),
Putri (11 tahun), Suriani (14 tahun), La Toro (12 tahun) dan Anton (11 tahun).
C. Tehnik
Pengumpulan Data
Untuk
memperoleh data, maka digunakan tehnik pengamatan dan wawancara mendalam. Oleh
karena itu penelitian ini bersifat kualitatif, hal ini sebagaimana yang ditulis
oleh Spradley dalam Endraswara(2003:207) yaitu: akulturasi penuh, keterlibatan
langsung, suasana budaya yang tidak dikenal, waktu yang cukup, non-analitis,
dan peneliti berusaha menyimpan pembicaraan informan, membuat penjelasan
berulang, dan pengamatan dilakukan untuk bisa berpartisipasi agar terjalin
hubungan baik dengan informan.
1. Pengamatan
(observation)
Pengamatan
dilakukan secara langsung dengan mengamati aktifitas anak yang ditinggal oleh
orang tuanya merantau. Seperti aktifitas anak dalam kehidupan anak setiap
harinya misalnya waktu bermain. Ada anak
- anak dalam bermain ada yang masih memekai baju seragam sekolah olah raga
sambil bermain boi yang terbuat dari tempurung kelapa yang disusun dan bola
kecil yang terbuat dari kumpulan plastic bekas bungkusan indumi yang diikatkan
dengan beberapa karet. Permainan tersebut dibagi dua kelompok dan masing –
masing kelompok beranggotakan 4 orang bahkan lebih dari itu. Kegiatan tersebut
dilakukan setelah pulang sekolah.
Selain
itu juga aktifitas anak dalam bersekolah yaitu pagi hari anak Anak – anak
berangkat sekolah dengan memaki seragam sekolah, ada anak yang seragamnya sudah
kotor dan warnanya sudah pudar lagi bahkan ada anak yang pakainnya sudah tidak layak
untuk dipakai lagi tetapi mereka masih semangat untuk berangkat sekolah. Anak –
anak tersebut yang kedua orang tuanya merantau sehingga tidak ada yang mengurus
pakain mereka. Anak tersebut setelah tiba disekolah mengikuti pelajaran bersama
teman – teman lainya. Namun sebelum anak – anak masu kedalam ruangan mereka
apel didepan kelas, anak – anak yang berpakain kotor tersebut diperingati bahwa
besoknya dia tidak bisa berpakain seperti itu dan anak tersebut hanya menunduk
saja dan kemudian masuk kedalam ruangan sambil duduk dibangkunya sambil
memperhatikan gurunya menjelaskan.
Ada sebagian anak yang
ke sekolah sambil membawa jualan seperti ubi goreng, onde – onde yang
terbuat dari ubi, kerupuk, taripang dan roti goreng. Anak tersebut berangkat
kesekolah lebih awal dari teman – temanya karena setiba dri sekolah anak – anak
tersebut duduk berjejeran di depan pintu masuk gerbang sekolah sambil menunggu
para pembeli. Para pembeli bukan hanya anak – anak sekolahan tetapi orang lain
atau masyarakat sekitar membeli untuk sarapan. Apabila bel apel berbunyi anak
anak tersebut mulai menghentikan jualannya dan ikut bergabung bersama teman –
teman lainnya untuk mendengarkan pidato dari guru yang piket. Setelah itu masuk kedalam ruangan masing – masing dan
jualannya disimpan di luar ruangan.
Ada juga seorang anak yang tidak sekolah dan
kegiatannya hanya membantu ibunya mencari nafkah. Setiap paginya anak tersebut
membatu ibunya pergi kekebun untuk menggali ubi dan ubi tersebut di olah
menjadi Kaati. Kemudian kaati tersebut dijual kepasar untuk menambah
penghasilan keluarga.
Pengamatan
tersebut dilakukan untuk memahami secara dekat, bahkan peneliti berusaha
bersama-sama anak yang ditinggalkan oleh orang tuanya merantau, dalam melakukan
aktifitasnya seperti ikut berjualan yang dilakukan anak. Dalam hal ini peneliti dengan sengaja
menginap di rumah anak yang orang tuanya merantau.
2. Wawancara
Mendalam (indepth interview)
Untuk
memperoleh data mengenai masalah yang diteliti, maka peneliti menggunakan
tehnik wawancara. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar diperoleh data yang
lengkap dari setiap informan dengan membuat pedoman wawancara terlebih dahulu
sebelum melakukan penelitian langsung di lapangan. Pedoman wawancara dibuat
untuk mengetahui hal-hal apa saja yang akan ditanyakan. Pedoman wawancara
tersebut kemudian dikembangkan dilapangan oleh peneliti untuk memperoleh data
yang akurat.
Adapun
pertayaan dalam wawancara mendalam bagaimana aktifitas anak dalam menjalani
kehidupannya sehari – hari, yang dimulai dari pagi hari hingga malam hari.
Kegiatan yang dilakukan seorang anak ketika pagi hari yaitu sebagian anak
menjual gorengan buatan dari ibu mereka dan ada juga yang berjualan sambil
bersekolah. Ada sebagian anak yang
putus sekolah disebabkan oleh keadaan ekonomi keuluarganya tidak cukup untuk
biaya sekolah. Dengan keadaan tersebut sehingga dapat membedakan antara anak
yang ditinggal orang tuanya merantau bisa tercukupi kebutuhan sehari – harinya
tetapi kurang kasih sayang dari rang tua terutama ayah.
Hal tersebut tidak membuat semangat anak berhenti dalam menjalani pekerjaannya
masing-masing.
D. Analisis
Data
Analisis
data di lakukan dari awal hingga akhir penelitian. Data – data yang dianalisa
berkaitan dengan kehidupan anak yang ditinggal merantau orang tuanya yang
meliputi aktifitas anak – anak dirumah, aktifitas anak – anak disekolah dan
aktifitas anak dalam membantu kehidupan keluarganya. Analisis terhadap data –
data tersebut yang merupakan kombinasi hasil wawancara dan pengamatan kemudian
diinterpestasikan dengan mengacu pada keterkaitan antara berbagai konsep, teori
dengan fenomena sosial sehingga mampu menjawab permasalahan penelitian mengenai
kehidupan anak yang ditinggal oleh orang tuanya merantau. Hal ini mengacu pada
(Endraswara, 2003 : 40) yang mengatakan bahwa dengan melakukan analisis data
secara terus menerus, maka peneliti dapat memperoleh pemahaman yang utuh
mengenai hasil penelitian, guna memecahkan permasalahan diteliti.
pak mana daftar pustakanya ..................kok g da, aku lagi butuh karya bapak untk referensi.......makasiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiis
BalasHapus